Beberapa persyaratan
liturgis yang perlu mendapatkan perhatian
[Ditulis oleh Rm. Bosco da Cunha O.Carm, Komisi Liturgi
KWI. Dengan persetujuan Rm. Bosco, Katolisitas memberikan beberapa tambahan
sumber untuk memberikan penjelasan lanjutan tentang hal yang terkait dengan apa
yang disampaikan oleh Rm. Bosco. Tulisan Rm. Bosco dicetak dengan warna hitam,
dan tambahan dari Katolisitas, dicetak dengan warna coklat.]
Pendahuluan
Tak dapat disangkal kenyataan bahwa umat Katolik terus
bertambah. Rumah gereja terasa menjadi kecil karena tak dapat menampung sekian
banyak orang yang datang merayakan Ekaristi hari Minggu dan terlebih pada hari
Natal dan Pekan Suci. Beberapa paroki sudah memiliki gereja yang baru; namun
demikian masih terbuka kemungkinan untuk keuskupan merencanakan pembangunan
sekian gereja di banyak paroki lagi. Biasanya proses pembangunan dimulai dengan
pembentukan panitia pembangunan; dan sangat diharapkan dialog yang mantap
antara beberapa pihak: yaitu pihak yang membutuhkan (pastor, para liturgis, dewan
paroki, dan seluruh umat beriman) dan pihak yang melaksanakan (arsitek,
seniman, kontraktor, para tukang, dan teknisi). Dialog hendaknya dimulai sejak
penggambaran situasi, sketsa rancangan bangunan, sampai kepada pengadaan
bahan-bahan, pemanfaatannya dalam perhitungan dengan keseluruhan bangunan
sebagai rumah ibadat Katolik.
Gereja sebagai Rumah Perayaan Umat Beriman
Pemahaman Liturgis
Ruang Arsitektonis dan Peryaan Iman:
Ruang gereja, tempat umat paroki datang berhimpun untuk
mendengarkan Sabda Tuhan, untuk berdoa dan menyanyi, untuk merayakan kurban
Ekaristi memiliki suatu gambaran dasar yang sangat khusus yakni sebagai kenisah
Allah, tubuh mistik Kristus yang dibangun di atas “batu-batu yang hidup”. Oleh
karena itu, bangunan rumah ibadat Kristiani berkaitan dengan pemahaman tentang
Gereja sebagai umat Allah. Perencanaan dan konstruksi rumah gereja baru harus
memperhitungkan persekutuan umat setempat yang mau mengaktualisasikan dirinya
seturut gagasan Konsili Vatikan II sebagai:
– persekutuan umat Allah yang berziarah menuju Yerusalem
surgawi.[1]
– dan liturgi yang dirayakan merupakan kegiatan Kristus
Penyelamat, dalam Roh Kudus, oleh seluruh perhimpunan gerejani, yang ditata
dalam tugas-tugas pelayanan, dengan tanda-tanda sakramental yang mendatangkan
berkat dan rahmat berlimpah.[2]
Sebagai bangunan, gereja menggambarkan Gereja, umat Allah:
Realitas Gereja dalam hakekatnya yang mengandung misteri dan
sakramental terungkap dalam gambaran sejarah penyelamatan “umat Allah” dan
secara khusus menyatakan diri dalam himpunan umat yang sedang merayakan
liturgi, subyek perayaan Kristiani.[3] Sesungguhnya Yesus Kristus, Sabda
yang menjelma, sakramen Allah Bapa, lewat Roh Kudus mengikutsertakan peran
keselamatan-Nya kepada umat sebagai nabi, imam dan raja, sehingga pantaslah
menjadi kabar gembira, puji-pujian dan pelayanan[4]. Melalui ruangan
liturgis ini, baik selama perayaan maupun di luar waktu perayaan, harus
dipandang secara simbolik sebagai tempat penyelenggaraan karya keselamatan
manusia sehingga harus dibangun indah dan selaras dan bukan sebaliknya (bdk.
Rom 8:19-21).
Promosi Persekutuan hidup:
Membangun suatu “gereja dari batu-batu” mengungkapkan
sekurang-kurangnya identitas Gereja sebagai pribadi-pribadi beriman (patantio
Ecclesiae), yang hidup bersama dalam ikatan kasih dan persekutuan dengan
mana rumah baru dibangun. Pemahaman ini menyangkut pula masalah- masalah
masyarakat kita yang kompleks dan dengan perhatian kepada budaya setempat,
bergerak maju secara bertahap menuju nilai-nilai terbaik entah melalui
perjuangan yang melelahkan menuju kedewasaan beriman dalam communio
Gereja.
Membangun suatu gedung gereja baru merupakan usaha pastoral
dari pihak yang memainkan peran di dalamnya, tetapi masih dalam proses awali
untuk menilainya sebagai gambaran dari suatu jemaat yang hidup dan giat
bekerja, yang dibimbing selama perjalanan berdasarkan azas teologis dan
kultural.
Suatu proyek kultural, pastoral dan eklesial:
Kita janganlah memandang pembangunan rumah gereja hanya dari
sudut bahan-bahan material yang membentuk bangunan rumah. Pertama-tama harus
memperhitungkannya dengan Allah dalam kaitannya langsung dengan suatu kelompok
umat beriman. Oleh karena itu, bangunan fisik ini harus mampu mendukung suasana
kehadiran Misteri yang membangun umat Allah.
Gereja baru dan kesatuan komunitas keuskupan:
Harus diperhitungkan dengan sensibilitas “Gereja induk” di
bawah pimpinan uskup. Perlu ada ikatan spiritual dengan katedral sebagai pusat
keuskupan. Gereja paroki janganlah dibangun hanya demi persyaratan
birokratis-administratif, tetapi sebagai tempat umat berkumpul untuk juga
merayakan misteri Pembaptisan, Krisma, Ekaristi bersama uskup dan para imamnya.
Gereja dalam konteks tata-kota:
Ruang dalam bangunan gereja perlu diperhatikan secara
khusus; secara arsitektonis hendaknya memberikan kesan tentang misteri
kehidupan Gereja yang tengah berjalan di dunia ini menuju pemenuhan akhirat. Di
lain pihak perlu memperhitungkan keselarasannya baik sisi dalam maupun sisi
luar; sehingga setiap orang secara mudah dapat berkata bahwa inilah gereja,
bukan bangunan profan.
Letak bangunan dan tata halamannya hendaknya memperhitungkan
ciri khas Gereja yang menuntut keanggunan, ketenangan, kesucian dan keluhuran.
Berikut ini adalah keterangan menurut Pedoman Umum Misale
Romawi (PUMR):
293. Perancangan gereja dan lingkungan sekitarnya hendaknya
serasi dengan situasi setempat dan sesuai pula dengan tuntutan zaman. Maka dari
itu, tidak cukup kalau hanya syarat-syarat minimal untuk perayaan ibadat
dipenuhi. Hendaknya juga diusahakan agar umat beriman, yang secara teratur
berhimpun di situ, merasa nyaman.
Pengaturan ruang dalam:
Kesatuan ruang liturgis yang terpadu:
Gereja secara umum harus membawakan gambaran suatu umat yang
dipersatukan untuk perayaan misteri-misteri suci, yang diatur menurut sekian
banyak macam tugas pelayanan untuk menyukseskan setiap bagian ritus dan
memungkinkan partisipasi umat Allah secara aktif- bersemangat.[5]
Menurut yang asli dan dari tradisi, ruangan dalam gereja
haruslah diusahakan untuk mengungkapkan dan mendukung secara menyeluruh
kesatuan umat beriman sebab merekalah subyek yang merayakan liturgi. Situasi
ruangan dalam selalu harus paling diperhitungkan dalam rancangan proyek,
sebagai pusat kegiatan liturgi dan menurun dari serambi depan, melebar dalam
aula, dan “menyimpul” ke pelataran iman, sebagai ruangan yang menjadi pusat
perhatian namun tak terpisahkan dari aula/ ruang umat.
Ruangan sedemikian itu diperhitungkan pertama-tama untuk
perayaan Ekaristi; untuk itu dituntut suatu sentralitas yang tidak terlalu geometris,
tak perlu pelataran imam menjadi titik fokus sentral dari segala sudut;
cukuplah lebih tinggi, berbeda dari yang lain, dalam keseimbangan dengan aula/
ruang umat.
Selain dari itu, tata ruang harus memungkinkan pula bagi
perayaan sakramen-sakramen lain: Pembaptisan, Krisma, Tobat, Pengurapan orang
sakit, Pentahbisan, Pernikahan dan juga berbagai sakramentali: misalnya,
penguburan (pemberkatan jenazah), pemberkatan-pemberkatan, upacara kaul, dengan
sekian kemungkinan penyesuaian pastoral yang dapat dilaksanakan di paroki itu.
Kemudian, jarak tempat duduk, ruas jalan untuk Komuni,
ukuran dan bentuk tempat duduk, jarak umat dari imam antara satu sama lain
harus diperhitungkan dengan memungkinkan kelancaran upacara perarakan, rasa
kebersamaan, tidak seperti menonton pertunjukan karena pelataran imam terlalu
tinggi; pokoknya tak sampai nilai-nilai itu diganggu oleh hambatan-hambatan
arsitektonis.
Hal- hal tertentu ini hendaknya diperhatikan secara cermat:
altar, mimbar, tempat pembaptisan, sumber/ tempat air baptis; ruang tobat,
tabernakel, tempat duduk imam sebagai pemimpin perayaan. Dalam kesatuan dengan
itu; perlu penataan ruang umat, tempat koor dan orgel, serta patung-patung dan
lukisan Jalan Salib.
Berikut ini tambahan keterangan dari PUMR:
294. Umat Allah yang berhimpun untuk Misa mempunyai susunan
organik hirarkis. Hal itu tampak dalam bermacam-macam tugas dan aneka ragam
tindakan yang dilakukan dalam masing-masing bagian perayaan liturgi. Oleh
karena itu, tata ruang gereja haruslah disusun sedemikian rupa, sehingga
mencerminkan susunan umat yang berhimpun, memungkinkan pembagian tempat sesuai
dengan susunan itu, dan mempermudah pelaksanaan tugas masing-masing anggota
jemaat.
Umat beriman dan paduan suara hendaknya mendapat tempat yang
memudahkan mereka berpartisipasi secara aktif di dalam liturgi.
Imam, diakon, dan pelayan-pelayan lain hendaknya mengambil
tempat di panti imam. Di sini pula hendaknya disiapkan tempat duduk untuk para
konselebran; tetapi kalau jumlah konselebran besar, hendaknya tempat duduk
mereka diatur di bagian lain di gereja, tetapi masih dekat dengan altar.
Jadi tata ruang gereja harus menunjukkan susunan hirarkis
umat dan keanekaragaman tugas-tugas. Meskipun demikian, tata ruang gereja harus
mewujudkan kesatuan, supaya dengan demikian tampaklah kesatuan seluruh umat
kudus. Penataan dan keindahan ruang serta semua perlengkapan gereja hendaknya
menunjang suasana doa dan mengantar umat kepada misteri-misteri kudus yang
dirayakan di sini.
295. Panti imam adalah tempat di mana altar dibangun, sabda
Allah dimaklumkan, dan imam, diakon serta pelayan-pelayan lain melaksanakan
tugasnya. Panti imam hendaknya sungguh berbeda dari bagian gereja lainnya,
entah karena lebih tinggi sedikit, entah karena rancangan dan hiasannya. Panti
imam hendaknya cukup luas, sehingga perayaan kudus dapat dilaksanakan dengan
semestinya dan kegiatan yang dilaksanakan di sana dapat dilihat dengan jelas.
311. Tempat umat beriman hendaknya diatur dengan seksama,
sehingga mereka dapat berpartisipasi dengan semestinya dalam perayaan-perayaan
kudus, baik secara visual maupun secara batin. … Kebiasaan menyediakan tempat
duduk istimewa bagi orang-orang tertentu harus dihapus. Khususnya dalam
gereja-gereja yang dibangun baru, bangku atau tempat duduk lain itu hendaknya
diatur sedemikian rupa sehingga umat dengan mudah dapat melaksanakan tata gerak
yang dituntut dalam aneka bagian perayaan, dan tanpa hambatan dapat maju untuk
menyambut Tubuh dan Darah Kristus.
Hendaknya diusahakan, agar umat tidak hanya dapat melihat
imam, diakon, dan lektor, tetapi juga, dengan bantuan sarana teknologi modern,
dapat mendengar mereka tanpa kesulitan.
Altar
Altar adalah pusat utama bagi umat beriman; merupakan poros
komunitas yang melaksanakan perayaan. Janganlah terdiri dari bahan yang
sederhana, tetapi harus selaras dengan peranannya sebagai tanda permanen
Kristus, imam dan korban. Altar adalah meja korban persembahan dan perjamuan
Paskah di mana Allah Bapa menghidangkan bagi putera-puteri-Nya dalam rumah
keluarga: sumber dan tanda kesatuan dan cinta kasih. Oleh karena itu hendaknya
jelas terlihat dari segala pihak dan sungguh layak. Berdasarkan dua persyaratan
ini harus diperhitungkan bahwa penempatan altar menuntut jarak yang leluasa
dari berbagai sudut. Hendaknya “unik” dan terletak di tengah pelataran imam’
mampu bertemu pandang dengan semua di sekitarnya.
Perlu diingatkan bahwa meskipun ditempatkan secara seimbang
pada keseluruhan pelataran imam, altar harus mampu menjamin perannya sebagai
“titik pusat” perayaan liturgi. Hal ini hanya mungkin kalau altar memenuhi
syarat dalam berbagai dimensi liturgi. Tinggi altar kira-kira 90 cm dari
lantai, agar memudahkan pelaksanaan tugas-tugas pemimpin upacara yang harus
mengemudikan seluruh perayaan. Di atas altar tak boleh diletakkan patung atau
lukisan orang kudus. Selama peribadatan dapat diletakkan tempat berisi relikwi
asli martir atau orang kudus lainnya, tak harus di dalam meja, tetapi di
bawahnya.
Seturut simbolisme biblis dan kebiasaan tradisional, meja
altar sebaiknya dibuat dari batu alami. Namun demikian, untuk meja, seperti
untuk bingkai-bingkai dan kaki yang menopang dapat juga dibuat dari bahan-bahan
lain, dengan pemahaman yang jelas bahwa semuanya ini dimaksudkan khusus untuk
liturgi, bukan untuk segala keperluan.[6]
Berikut ini adalah tambahan penjelasan dari PUMR:
296. Altar merupakan tempat untuk menghadirkan kurban salib
dengan menggunakan tanda-tanda sakramental. Sekaligus altar merupakan meja
perjamuan Tuhan, dan dalam Misa umat Allah dihimpun di sekeliling altar untuk
mengambil bagian dalam perjamuan itu. Kecuali itu, altar merupakan juag pusat
ucapan syukur yang diselenggarakan dalam perayaan Ekaristi.
297. Bila perayaan Ekaristi berlangsung di gereja atau di
kapel, harus digunakan sebuah altar. Bila perayaan Ekaristi berlangsung di luar
gereja atau kapel, dapat digunakan meja yang pantas. Tetapi meja itu hendaknya
ditutup dengan kain altar dan dilengkapi dengan korporale, salib dan lilin.
298. Sangat diharapkan agar dalam setiap gereja ada satu
altar permanen, karena altar ini secara jelas dan lestari menghadirkan Yesus
Kristus, Sang Batu Hidup (1 Ptr 2:4, bdk. Ef 2:20). Tetapi di tempat-tempat
lain yang dimanfaatkan untuk perayaan liturgis, cukup dipasang altar geser.
Suatu altar disebut altar permanen kalau dibangun melekat
pada lantai, sehingga tak dapat dipindahkan; altar disebut altar geser kalau
dapat dipindah- pindahkan.
299. Altar utama hendaknya dibangun terpisah dari dinding
gereja, sehingga para pelayan dapat mengitarinya dengan mudah, dan imam sedapat
mungkin memimpin perayaan Ekaristi dengan menghadap ke arah jemaat. Di samping
itu, altar hendaknya dibangun pada tempat yang sungguh-sungguh menjadi pusat
perhatian, sehingga perhatian seluruh umat beriman dengan sendirinya terarah ke
sana. Seturut ketentuan altar utama harus berupa altar permanen dan
didedikasikan.
300. Baik altar permanen ataupun altar geser didedikasikan
menurut tata cara yang digariskan dalam buku Pontificale Romanum, tetapi
altar geser dapat juga hanya diberkati.
301. Seturut tradisi Gereja, dan sesuai pula dengan makna
simbolis altar, daun meja untuk altar permanen harus terbuat dari batu, bahkan
batu alam. Tetapi Konferensi Uskup dapat menetapkan bahwa boleh juga digunakan
bahan lain, asal sungguh bermutu, kuat dan indah. Sedangkan penyangga atau kaki
altar dapat dibuat dari bahan apapun, asal kuat dan bermutu.
Altar geser dapat dibuat dari bahan apapun asal menurut
pandangan masyarakat setempat bermutu, kuat, dan selaras untuk digunakan dalam
liturgi.
302. Hendaknya dipertahankan tradisi Gereja untuk memasang
relikui orang kudus, juga yang bukan martir, di dalam atau di bawah altar yang
akan didedikasikan. Namun harus dijamin bahwa relikui itu asli.
303. Bila membangun gereja baru, lebih baik dibangun hanya
satu altar sehingga dalam himpunan jemaat beriman altar tunggal itu sungguh
menjadi tanda Kristus yang satu dan Ekaristi Gereja yang satu…
304. Untuk menghormati perayaan kenangan akan Tuhan serta
perjamuan Tubuh dan Darah-Nya pantaslah altar ditutup dengan sehelai kain altar
berwarna putih. Bentuk, ukuran dan hiasannya hendaknya cocok dengan altar itu.
Mimbar
Mimbar adalah tempat khusus untuk pewartaan Sabda Tuhan.
Bentuknya hendaklah berhubungan dengan altar, tanpa melalaikan peran dan
kepentingannya sendiri. Hendaknya dipikirkan bahwa letaknya lebih mendekati
umat (juga tidak pada bagian pelataran imam seturut kesaksian tradisi liturgi)
dan hendaknya memungkinkan pelaksanaan perarakan dengan kitab Injil dan
pemakluman Sabda penyelamatan. Hendaknya sepadan menurut kelayakan dan
peranannya yang suci, dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga para pelayan
upacara yang menggunakannya dapat dilihat dan didengarkan dari segenap penjuru
bangku umat.
Tidak cukup kalau mimbar dibuat hanya sebagai sebuah
‘standard’; mimbar harus anggun dan di ketinggian tertentu sehingga mampu
menggaungkan Sabda dan menciptakan kewibawaan penyampaian Sabda; pun jika tak
ada lektor yang sedang memaklumkannya. Di samping itu, mimbar dapat dilengkapi
dengan tempat lilin; juga dalam perhitungan untuk penempatan lilin Paskah.
Berikut ini adalah tambahan ketentuan mimbar menurut PUMR:
309. … Sebaiknya tempat pewartaan sabda berupa mimbar (ambo)
yang tetap, bukannya ‘standar’ yang dapat dipindah- pindahkan. Sesuai dengan
bentuk dan ruang gereja masing-masing, hendaknya mimbar itu ditempatkan
sedemikian rupa, sehingga pembaca dapat dilihat dan didengar dengan mudah oleh
umat beriman.
Mimbar adalah tempat untuk membawakan bacaan-bacaan dan
mazmur tanggapan serta Pujian Paskah. Juga homili dan doa umat dapat dibawakan
di mimbar. Untuk menjaga keagungan mimbar, hendaknya hanya pelayan sabda yang
melaksanakan tugas di sana….
Tempat duduk Pemimpin:
Tempat duduk mengungkapkan peran pemimpin yang membawakan
perayaan pribadi Kristus, Kepala dan Gembala Gereja-Nya. Tempatnya hendaklah
terlihat dengan baik oleh seluruh umat dengan perhitungan agar seluruh umat
dengan mudah memusatkan perhatian kepada doa-doa yang dibawakan, dialog dan
ajakan-ajakan, tempat duduk harus menandakan pemimpin, bukan hanya sebagai
kepala tetapi juga sebagai bagian integral dari umat: untuk maksud itu
hendaklah menjamin komunikasi langsung dengan umat, walaupun tetap berada pada
pelataran imam.
Perlu diingatkan bahwa bentuknya bukanlah sebagai tahta
uskup atau memberi kesan suatu singgasana. Tempat duduk pemimpin hendaknya
tetap tampil “unik”; dapat sebagai bangku utama tanpa sandaran namun dengan
penyangga tangan, seraya diperhitungkan dengan kasula imam dan keleluasaan
bergerak. Selanjutnya dipersiapkan pula sekian banyak tempat duduk untuk para
konselebran, diakon dan petugas-petugas lainnya. Jangan lupa merancang suatu
tempat yang tampan untuk kredens.
Berikut ini adalah tambahan ketentuan mimbar menurut PUMR:
310. … Kursi imam selebran harus melambangkan kedudukannya
sebagai pemimpin jemaat dan mengungkapkan tugasnya sebagai pemimpin doa. Oleh
karena itu tempat yang paling sesuai untuk kursi imam selebran adalah
berhadapan dengan umat dan berada di ujung panti imam, kecuali kalau tata
bangun gereja atau suatu sebab lain tidak mengizinkannya; misalnya saja kalau
dengan demikian jarak antara umat dan imam terlalu jauh, sehingga mempersulit
komunikasi; atau kalau tabernakel dibangun di belakang altar persis di tengah
garis belakang panti imam. Kursi imam selebran sama sekali tidak boleh
menyerupai tahta.
Seyogyanya, sebelum digunakan untuk keperluan liturgi imam
selebran diberkati menurut tata cara yang diuraikan dalam buku Rituale
Romanum.
Demikian pula, di panti imam hendaknya dipasang kursi-kursi
lain baik untuk para imam konselebran maupun imam-imam yang berhimpun untuk
Ibadat Harian tetapi tidak ikut berkonselebrasi.
Kursi diakon hendaknya ditempatkan di dekat imam selebran.
Tempat duduk para petugas lain hendaknya jelas berbeda dengan kursi klerus, dan
diatur sedemikian rupa, sehingga semua dapat menjalankan tugasnya dengan mudah.
Tempat Pembaptisan dan sumber
Dalam perencanaan sebuah gereja paroki hendaknya tidak
dilalaikan adanya tempat untuk Pembaptisan. Tempatnya dapat dipisahkan dari
ruang umat atau dalam bentuk sumber sedehana (tempat air) yang ditempatkan di
salah satu bagian dari ruang umat. Hendaknya ada hiasan dan memberi arti yang
jelas; sehingga setiap orang langsung berkesan tentang Pembaptisan.
Perhitungkanlah menurut persyaratan liturgis apabila Pembaptisan dirayakan di
situ, baik untuk penenggelaman ataupun untuk pencurahan. Dapat diperhitungkan
letak tempat Pembaptisan yang memungkinkan perarakan menuju altar seusai
Pembaptisan.
Tempat dan ruang duduk Sakramen Tobat
Perayaan sakramen Tobat memerlukan ruangan khusus yang tak
terpisah dari ruang umat. Hendaknya diperhitungkan demi dialog yang lancar
antara bapa pengakuan dan peniten dan dapat dijamin sebagai tempat perjumpaan
individual, tanpa diganggu oleh gaung suara. Dengan pertimbangan pastoral,
masih dibutuhkan sekat dan tempat berlutut.
Tabernakel/ Persemayaman Ekaristi
Sakramen Mahakudus hendaknya disemayamkan di suatu tempat
arsitektonis yang sungguh penting; biasanya terpisah dari ruang umat dan
diperhitungkan untuk sembah sujud dan doa pribadi. Tabernakel adalah suatu yang
khusus, sehingga perlu mendapatkan perhatian. Hendaknya tetap tak
berpindah-pindah dan kuat melekat, tidak tembus cahaya dan tak dapat dilintasi
orang. Jangan lupa menempatkan lampu abadi di sampingnya sebagai tanda
kehadiran Tuhan yang tetap dan senantiasa.
Paus Benediktus XVI, dalam Ekshortasi Apostoliknya yang
berjudul Sacramentum Caritatis menuliskan tentang ketentuan lokasi
tabernakel, demikian:
69. …. Penempatan tabernakel yang benar akan memberikan
kontribusi bagi pengenalan akan kehadiran Kristus yang nyata di dalam Sakramen
Mahakudus. Karena itu, tempat di mana Ekaristi disimpan, yang ditandai oleh
lampu tempat kudus, harus mudah terlihat dari siapapun yang memasuki gereja.
Maka menjadi penting untuk diperhatikan dalam arsitektur bangunan: di
gereja-gereja yang tidak mempunyai kapel Sakramen Mahakudus, dan di mana ada
altar tinggi dengan tabernakelnya, adalah layak untuk terus menggunakan
struktur ini untuk penyimpanan dan penyembahan Ekaristi, asalkan diperhatikan
untuk tidak menempatkan kursi pemimpin di depannya. Di gereja-gereja baru,
adalah baik untuk menempatkan kapel Sakramen Mahakudus dekat dengan panti imam.
Ketika ini tidak memungkinkan, adalah dianjurkan untuk menempatkan
tabernakel di panti imam, di tempat yang cukup ditinggikan, di bagian
tengah/ pusat dari ujung cekungan pengakhiran gereja (at the center of
the apse area) atau di tempat lain yang sama-sama mencolok/ mudah terlihat.
Perhatian kepada pertimbangan-pertimbangan ini akan memberikan kontribusi
martabat kepada tabernakel yang harus selalu diperhatikan, juga dari sudut
pandang artistik. Jelaslah adalah penting untuk mengikuti ketentuan dari
Pedoman Umum Misale Romawi tentang hal ini. Dalam setiap keadaan, keputusan
akhir tentang hal-hal ini ditentukan oleh Uskup Diocesan.” (Sacramentum
Caritatis, 69)
Berikut ini adalah ketentuan tentang Tabernakel menurut
Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR):
314. Sesuai dengan tata bangun masing-masing gereja dan
kebiasaan setempat, Sakramen Mahakudus hendaknya disimpan dalam tabernakel yang
dibangun di salah satu bagian gereja. Tempat tabernakel itu hendaknya sungguh
mencolok, indah dan cocok untuk berdoa.
Seturut ketentuan hendaknya ada satu tabernakel dalam
gereja. Tabernakel hendaknya dibangun permanen, dibuat dari bahan yang kokoh,
tidak mudah dibongkar, dan tidak tembus pandang. Tabernakel hendaknya
dilengkapi dengan kunci yang aman, sehingga setiap bahaya pencemaran dapat
dihindarkan. Seyogyanya sebelum dikhususkan untuk penggunaan liturgis,
tabernakel diberkati seturut tata cara yang diuraikan dalam buku Rituale
Romanum.
315. Sangatlah sesuai dengan makna simbolisnya, kalau
tabernakel sesuai dengan makna simbolisnya, kalau tabernakel sebagai tempat
menyimpan Sakramen Ekaristi tidak diletakkan di atas meja altar di mana
dirayakan Ekaristi.
Oleh karena itu, sesuai dengan kebijakan uskup diocesan,
tabernakel lebih baik ditempatkan:
a. kalau di panti imam, terpisah dari altar yang digunakan
untuk merayakan Ekaristi, dalam bentuk dan tempat yang serasi, tidak terkecuali
pada altar lama yang tidak digunakan untuk merayakan Ekaristi. [Catatan dari
Katolisitas: ini terkait dengan bangunan gereja lama yang memiliki struktur
meja altar dengan kesatuan dengan tabernakel untuk merayakan Extra Ordinary
Mass/ Tridentine Mass]
b. di Kapel yang cocok untuk sembah sujud dan doa pribadi
umat beriman, dari segi tata bangun, kapel ini hendaknya terhubung dengan
gereja dan mudah dilihat oleh umat.
316. Selaras dengan tradisi, di dekat tabernakel harus
dipasang lampu khusus yang menggunakan bahan bakar minyak atau lilin. Lampu ini
bernyala terus menerus sebagai tanda dan ungkapan hormat akan kehadiran
Kristus.
Tempat duduk umat
Hendaknya diperhitungkan agar posisi bangku mendukung
partisipasi yang baik selama perayaan. DI samping memungkinkan perarakan
Komuni; jaran antar bangku dan bentuk bangku tak menghalangi gerak-gerik
simbolis selama perayaan serta konsentrasi dan penyesuaian diri ke dalam setiap
bagian ritual.
Tempat koor dan organis
Koor adalah bagian dari umat dan harus di tempatkan di ruang
umat. Namun demikian tempatnya hendaknya agak lebih tinggi sekaligus tidak
membelakangi umat, sebab tugas mereka terutama menyemangati umat dalam
menyanyi. Tempat organis pun diperhitungkan dengan kemudahan komunikasi baik
dengan dirigen, umat maupun pemimpin perayaan.
Berikut ini ketentuan dari PUMR:
312. Paduan suara merupakan bagian utuh dari umat yang
berhimpun, namun memiliki tugas yang khusus. Oleh karena itu, dengan
memperhatikan tata ruang gereja, paduan suara hendaknya ditempatkan sedemikian
rupa sehingga kedua ciri khas tersebut tampak dengan jelas. Juga agar paduan
suara dapat menjalankan tugasnya dengan mudah, dan memungkinkan setiap anggota
berpartisipasi secara penuh dalam Misa yaitu berpartisipasi secara sakramental.
313. Organ dan alat-alat musik lain yang boleh digunakan
dalam liturgi, hendaknya diatur pada tempat yang cocok, sehingga dapat menopang
nyanyian baik paduan suara maupun umat, dan kalau dimainkan sendiri dapat
didengar dengan baik oleh seluruh umat….
Rancangan lukisan
Hendaknya lukisan dan kesenian merupakan pengembangan lebih
lanjut dari misteri yang dirayakan dalam kaitannya dengan sejarah keselamatan
dan umat beriman. Hendaknya sudah dirancang sejak awal proyek pembangunan.
Dapat disesuaikan dengan budaya lokal dalam kerjasama dengan seniman, tukang
dan penata ruang. Juga Salib, gambar Bunda Maria, pelindung paroki, Jalan
Salib, harus diciptakan sebagai hasil karya seni yang bermutu dan mampu
mengangkat hati kepada Yang Ilahi.
Kapel untuk Misa harian
Apabila gereja sangat luas maka untuk misa harian dapat
dipakai bagian kecil dari ruang umat untuk perayaan liturgi dengan kelompok
kecil. Dapat dipakai ruang samping yang berhadapan langsung dengan tabernakel.
Peralatan dan bahan-bahan
Bukannya yang dimaksudkan di sini sekedar sebagai perhiasan
luaran yang memenuhi syarat untuk dapat dipakai tetapi merupakan alat-alat yang
sepenuhnya berfungsi yang harus dirancang dengan teliti supaya selaras dengan
keseluruhan bangunan. Bahan yang dipilih hendaknya sederhana, tetapi bermutu,
bukannya mewah tetapi mengarah kepada kebenaran maksud penggunaan dan sekaligus
berdaya bagi pendidikan umat beriman serta menciptakan suasana sebagai tempat
yang suci.
Gagasan dasar untuk penggunaan alat dan bahan ialah keaslian
bentuk, materi dan tujuan bahan dan perkakas. Khususnya yang menjadi soal ialah
pemilihan dan penggunaan bahan-bahan natural seperti misalnya: bunga-bunga,
tumbuhan, lilin dan kayu. Kalau tentang hiasan kembang dapatlah misalnya
merancang satu atau beberapa rangkaian pada pelataran imam, bukan hanya demi
peraturan, tetapi juga demi kepentingan liturgi menurut Masa, tingkatan
perayaan, prioritas tempat dan keseimbangan tata ruang. Kriteria pertama ialah
kebenaran liturgis, sederhana tak berlebihan namun estetis dalam penyesuaian
dengan keseluruhan tata ruang dan mutu kreasi artistiknya dengan bahan modern
atau tradisional. Dalam penggunaan bahan-bahan/ peralatan antik, hendaknya
sangat menghormati identitas budaya, sejarah, dan seni seraya menghindari
kesewenangan dan pengubahan yang tidak sepadan.
Berikut ini adalah ketentuan tentang patung kudus dan
perabot-perabot lain, dalam PUMR:
318. Dalam liturgi yang dirayakan di dunia, Gereja mencicipi
liturgi surgawi yang dirayakan di kota suci Yerusalem. Gereja ibarat peziarah
yang berjalan menuju Yerusalem baru, tempat Kristus duduk di sisi kanan Allah.
Dengan menghormati para kudus, Gereja juga berharap agar diperkenankan
menikmati persekutuan dengan mereka, dan ikut merasakan kebahagiaan mereka.
Maka sesuai dengan tradisi Gereja yang sudah sangat tua,
ruang ibadat dilengkapi juga dengan patung Tuhan Yesus, Santa Perawan Maria,
dan para kudus, agar dapat dihormati oleh umat beriman. Di dalam gereja,
patung-patung itu hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga dapat membantu
umat beriman menghayati misteri-misteri iman yang dirayakan di sana, Maka harus
diupayakan jangan sampai jumlahnya berlebihan dan patung-patung itu hendaknya
diatur sedemikian rupa sehingga tidak membelokkan perhatian umat dari perayaan
liturgi sendiri. Pada umumnya, pemanfaatan patung dalam tata ruang dan tata
hias gereja, hendaknya sungguh mempertimbangkan keindahan dan keagungan patung
itu sendiri serta manfaatnya untuk kesalehan seluruh umat.
348. Perabot-perabot lain yang digunakan dalam liturgi atau
dipakai dalam gedung gereja hendaknya selalu pantas dan sesuai dengan tujuannya
masing-masing….
Pengaturan tempat-tempat khusus yang menyatu pada badan
gereja
Sakristi
Ruang sakristi hendaknya indah, rapi, bukan semacam gudang
dengan tumpukan barang. Hendaknya cukup luas, bukan hanya untuk menerima
kehadiran para petugas liturgi tetapi karena juga menjadi tempat penyimpanan
buku-buku upacara, pakaian dan berbagai peralatan suci. Dapat dikembangkan juga
dengan ruangan untuk P3K, untuk para penghias gereja bekerja; untuk pertemuan
imam dengan umat secara informal. Sedapat mungkin terdiri dari dua pintu:
menuju pelataran imam dan yang menuju ke umat, di samping pintu untuk urusan
lain. Dapat diperhitungkan pula jalan yang memadai menuju pintu gerbang depan
untuk introitus dengan perarakan meriah.
Tambahan keterangan dari PUMR:
334. Kebiasaan membangun sakrarium (sumur suci) di
sakristi hendaknya dipertahankan. Ke dalam sakrarium inilah dituang air bekas
pencuci bejana kudus dan kain-kain (bdk. PUMR 280).
Pelataran masuk dan Pintu utama
Ini sangat penting untuk menerima kedatangan umat, tetapi
sekaligus sebagai persiapan dekat bagi umat untuk beralih dari dunia ramai
menuju ke tempat yang suci. Hendaknya bentuk bangunan cukup terbuka, sekaligus
menjadi tempat memasang pengumuman-pengumuman parokial.
Pintu masuk utama harus menjadi simbol Kristus, “pintu”
untuk domba-domba-Nya (Yoh 10:7). Dapat dihiasi dengan ikonografi yang sesuai.
Perhitungkanlah sedemikian rupa agar umat tidak berdesakan waktu hendak masuk
atau keluar dari gereja.
Menara dan lonceng
Menara jangan dibuat tanpa rencana dan jangan sekedar untuk
menyangga lonceng. Tinggi dan indahnya menara sangat mendukung arti keluhuran
gereja di tengah kota dan masyarakat. Dimensi dan strukturnya angan sampai
terlalu menyita biaya. Lonceng gereja sangat dianjurkan bentuk yang tradisional
dan variasi bunyi yang menghantar orang kepada kekhusukan. Janganlah sekedar
memakai kaset rekaman.
Bangunan untuk pelayanan pastoral dan rumah paroki
Hendaknya bentuk dan letaknya mendukung kelayakan. Jangan
sampai lebih mewah dan lebih megah dari gereja paroki; namun demikian diri
khasnya perlu diperhatikan sebagai: rumah kediaman, tempat menerima tamu dan
umat untuk misi pastoral kegerejaan; untuk berbagai kegiatan rapat seksi-seksi
paroki; sekaligus aula liturgi untuk latihan koor.
[Ditulis oleh Rm. Bosco da Cunha O.Carm, Komisi Liturgi
KWI, dengan mengambil sumber dari Notitiae 322, Maio 1993-5, citta del
Vaticano, p. 290-303. Dengan persetujuan Rm. Bosco, Katolisitas menambahkan
beberapa sumber untuk topik yang terkait, untuk melengkapi penjelasan dari Rm Bosco.]
Catatan kaki:
- Bdk.
Sacrosanctum Concilium, 6.10; Lumen Gentium 4.9; Gaudium
et Spes 40.43
- Bdk.
Sacrosanctum Concilium, 7.14; Dei Verbum 21
- Sacrosanctum
Concilium,
11
- Bdk.
Lumen Gentium, 10
- Pedoman
Buku Misa 257
- Bdk.
Pedoman Buku Misa 263
[Sumber: http://www.katolisitas.org/perencanaan-bangunan-gereja-baru/. Diakses: Minggu, 11 September 2016].