Rabu, 08 Desember 2010

Lomba Mewarnai dan Menggambar

Anak-anak dan remaja, bagaimana pun adalah kelompok yang boleh dikata akan menjadi wajah Gereja di masa depan. Mereka juga mau tidak mau harus memahami dan melibatkan diri dalam karya keselamatan Tuhan mulai dari lingkungan Paroki masing-masing. Melalui berbagai cara dan media sebenarnya hal itu bisa dilakukan.


Gereja Katolik Santo Paulus Kulibul, dalam rangka Jubileum 50 tahunnya menggelar lomba mewarnai dan menggambar dengan peserta anak-anak SEKAMI pada hari Minggu 29 Agustus 2010 di aula Pastoran. Semarak memang. Dengan aneka tingkah polah mereka, kegiatan tersebut menjadi salah satu kegiatan yang cukup menyita perhatian.

Panitia dan para pendamping ternyata juga tidak ingin bahwa anak-anak hanya sekadar mewarnai dan menggambar begitu saja. Ini soal ekspresi seni. Namun demikian seni pun ada struktur dan "rumus-rumus"nya. Oleh karena itu jauh sebelum pelaksanaan lomba digelar, Kak Indra, yang memang mempelajari seni, menyempatkan diri untuk membimbing anak-anak SEKAMI dengan sukarela pada saat kegiatan SEKAMI dilaksanakan. Biasanya pada setiap hari Minggu sore.


Hasilnya memang tidak mengecewakan. Pada saat lomba berlangsung, meski harus tetap kerja ekstra menangani kebosanan dan polah tingkah anak-anak yang biasanya seenaknya dan mood yang kadang sulit dikontrol, mereka ternyata bisa melaluinya dengan baik, tidak sekenanya. Peserta lomba yang berasal dari berbagai tingkatan umur, dari TK sampai SMP tersebut, larut dalam aktivitas ekspresif yang sangat menyenangkan namun tetap terarah.***

Sarasehan Keberadaan "Pemaksan"


Kultur dan tata hidup masyarakat Bali, bagaimana pun, mempunyai peranan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan Gereja Katolik di Bali, khususnya Gereja yang tumbuh dan berkembang di daerah pedesaan, seperti Tangeb, Tuka, Babakan, Kulibul, Palasari, Gumbrih, Piling dan Penganggahan. Salah satu "lembaga" dalam struktur masyarakat Bali adalah "pemaksan". Istilah ini merujuk pada kesatuan anggota masyarakat yang mengemong bangunan suci tertentu yang sama. Mengemong berarti bertanggung jawab terhadap berbagai hal terkait dengan keberadaan bangunan suci tersebut dan juga upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan. Oleh karena itu, agar tanggung jawab bisa dilaksanakan dengan baik dan berkeadilan, maka ada aturan-aturan (awig-awig) yang kemudian disepakati menyangkut hak-hak, kewajiban termasuk juga sanksi.

Lembaga "pemaksan" ini kemudian diadopsi oleh umat Katolik di Bali yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah pedesaan. Tentu denganpenyesuaian-penyesuaian sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai kekatolikan. Namun demikian jujur harus diakui, bagaimana formulasi paling tepat penerapan "pemaksan" di lingkungan Gereja Katolik di Bali, khususnya yang ada di daerah pedesaan, memang belum ada kata sepakat untuk itu. Sempalan-sempalan pemikiran dan pemahaman masih merupakan mozaik yang mesti ditata sehingga benar-benar mampu memberikan kontribusi bagi pewartaan karya keselamatan Tuhan di tengah-tengah umat Katolik di Bali serta tetap akomodatif terhadap perkembangan.

Rm. Widastra menyampaikan makalahnya. Duduk (ki-ka): Gede Sutmasa, P. Kt. Dongker
dan Wayan Haryono

Untuk itulah, dalam rangka memperingati Jubileum Emas Gereja Katolik Santo Paulus Kulibul, pada hari Minggu, 29 Juli 2010 diselenggarakan "Sarasehan Keberadaan Pemaksan dalam Paroki". Hadir sebagai nara sumber pada sarasehan yang digelar di aula Pastoran Paroki Santo Paulus Kulibul adalah Romo Paskalis Nyoman Widastra, SVD, Bapak Paulus Ketut Dongker dan Bapak Wayan Haryono.

Pada sarasehan yang dipandu oleh Gede Sutmasa tersebut, Romo Widastra mengemukakan bahwa keberadaan "pemaksan" sebagaimana yang dipahami memang tidak ada dasar eksplisit jika mengacu pada struktur hierarkhi Gereja Katolik. Namun demikian secara implisit Gereja Katolik sebenarnya sangat menghargai nilai-nilai dan budaya setempat yang harus tetap dihargai dan diakomodasi dalam rangka pewartaan karya keselamatan Tuhan sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Keberadaan "pemaksan" dan bagaimana formulasi praktiknya, memang harus dipikirkan dengan lebih seksama. Kita mau apa dengan keberadaan "pemaksan" itu. Apakah dia kemudian bernilai bagi kebutuhan dan perkembangan Gereja Katolik atau malah sebaliknya? "Ini memerlukan pemikiran dan kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh," ungkap imam putra Bali yang menekuni budaya Bali tersebut.

Sementara itu Bapak Paulus Ketut Dongker dan Bapak Wayan Haryono masing-masing mengemukakan pengalaman mereka tentang keberadaan dan aktivitas pemaksan di paroki Tri Tunggal Tuka dan Paroki Roh Kudus Babakan. Sejauh ini, menurut mereka tidak ada masalah, bahkan memang sangat membantu terselenggaranya dengan sangat baik berbagai aktivitas paroki. ***