Sejarah

Pengantar
Sejarah Gereja Katolik Santo Paulus Kulibul ini ditulis dalam rangka Jubileum Emas Gereja Katolik Santo Paulus Kulibul, yang perayaannya dilaksanakan pada hari Kamis, 29 Juni 2011.

Pendahuluan
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus dan ajarlah mereka melakuklan segala sersuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:19)
”Sebab barangsiapa yang berseru kepada Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia,jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaiman mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus?......”(Roma 10:13-15)

Firman Tuhan diatas telah mengetuk hati banyak anak muda. Mereka menanggapi Firman Tuhan itu dengan masuk menjadi imam, suster,biarawan-biarawati dan mereka bersedia mengambil bagian dalam karya perutusan Tuhan (sebagai misionaris) demi keselamatan umat manusia. Mereka pergi ke pelbagai pernjuru sampai akhirnya ada yang tiba di pulau Bali.

Pada tahun 1635 sudah ada dua imam Yesuit yakni P.Manuel de Azevedo dan P.Carvalho datang ke Bali, tetapi entah mengapa mereka tidak memulai karya misi di Bali. Mereka berani datang ke Bali karena menurut Lontar Purana (Koleksi Gedong Kirtya Singaraja No 827) sebelumnya telah ada undangan dari Raja Klungkung yang benama Raja Dalem Di Made (mewakili raja-raja Bali) berupa sepucuk surat di atas daun lontar yang ditujukan kepada orang-orang Portugis di Malaka, yang menyatakan: ”Saya senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat dan orang datang ke pelabuhan ini untuk bedagang.Sayapun akan senang sekali jika imam-imam datang ke sini agar siapa saja yang menghendaki dapat memeluk agama Kristen”.
Tidak hanya undangan, selanjutnya juga diberikan ijin bagi para misionaris untuk datang dan menetap di Bali (1891, 1906), bahkan sampai diberikan ijin untuk mendirikan sekolah. Ini atas usaha Mgr. P. Noyen, SVD; P. De Lange, SVD dan Frater S. Bois, SVD, tetapi kesempatan ini tidak dimanfaatkan karena kekurangn tenaga.

Kemudian tahun 1935, tepatnya 11 September, datang seorang misionaris Serikat Sabda Allah( SVD) yakni P. Johanes Kersten . Beliau menetap di Denpasar di sebuah rumah dengan izin terbatas(#177).
Ternyata kedatangan dan kebeadaan P.J. Kersten di Bali membawa (menghasilkan) buah. Dua pemuda Bali dari Tuka, Desa Dalung yakni I Made Bronong dan I Wayan Dibloeg yang sebelumnya memeluk agama Kristen Protestan dari CMA (Christian and Missionary Alliance) menjadi katekumennya yang pertama. Kedua pemuda ini adalah katekis yang telah ditinggalkan oleh pendetanya karena perlawanan masyarakat terhadap kekristenan. P.J. Kersten menerima mereka dalam persekutuan Gereja Katolik tepatnya pada hari raya Pantekosta (6 Juni 1936) di sebuah kapel kecil di Denpasar. Penerimaan ini membuka peluang untuk mengawali misi Bali di Tuka yang oleh P.Van Ierssel disebut sebagai Bethlehemnya Bali dan dari Tuka inilah agama Katolik bekembang dan merambah desa-desa disekitarnya, termasuk Kulibul.

I. Menabur Firman Menuai Iman dan Harapan
Sejarah perkembangan iman Katolik di Paroki Kulibul dimulai secara sporadis di beberapa Banjar seperti Pegending, Pengilian, Kulibul, Aseman, Tandeg, Pelambingan, Tibubeneng, Dama, Dawas.
Sekitar tahun 1951 benih-benih iman Katolik mulai ditaburkan di wilayah Paroki Kulibul. Di wilayah bagian selatan yaitu di Pelambingan beberapa orang menerima Kabar Gembira Keselamatan Tuhan lalu percaya. Mereka itu antara lain I Wayan Belong, I Made Djeding, dan Gurun Latra dan beberapa orang lainnya yang termasuk sanak keluarga mereka, jumlahnya kira-kira 14 orang.

Benih-benih iman ini dipelihara oleh seorang gembala waktu itu yaitu Pastor N. Apeldoorn, SVD. Dengan mengayuh sepeda gayung kesayangan merek “Gaszele”, Pastor N. Apeldoorn, SVD secara rutin dan setia mendatangi para domba yang haus air keselamatan. Biasanya beliau ditemani oleh Pan Regig atau I Made Bronong dari Tuka dan Ibu Oei. Pastor memberikan pelajaran Agama Katolik kepada katekumen-katekumen dan Pan Regig bersama Ibu Oei bertugas mengobati orang-orang sakit. Tidak ketinggalan, Pan Paulus juga membantu pastor memberikan pelajaran agama kepada para katekumen.

Setelah dipandang cukup dan semua mereka yang menerima pelajaran dan pelayanan dari para misionaris dan para pewarta Sabda itu, maka keempatbelas orang itu kemudian dibaptis pada tahun 1958 oleh Pastor Apeldoorn, SVD. Menurut rekaman buku Permandian di Tuka, tanggalnya adalah 24 Desember.
Demikianlah kemudian, setelah dibaptis mereka secara rutin mengikuti upacara misa dan kegiatan-kegiatan kegerejaan lainnya di Tuka. Pelambingan – Tuka bukanlah jarak yang pendek, lagi pula waktu itu jalanan masih jalan tanah yang sempit, becek berlumpur di kala hujan. Namun demikian semua itu mereka lakukan dan tempuh dengan penuh semangat tanpa mengeluh dengan berjalan kaki.

Rupanya benih-benih iman Katolik yang tersemai dan tumbuh di Pelambingan itu menjadi semakin indah dan memberikan harapan. Oleh karena itu, semakin banyak juga orang yang tertarik mengikuti pelajaran agama Katolik. Dan para gembala, di samping Pastor Apeldoorn, SVD ada Pastor Flaska SVD, dibantu para pewarta dari kalangan awam seperti Pan Paulus, senantiasa dengan setia menemani, mendampingi dan membantu para pengikut Kristus yang baru itu untuk tumbuh dan berkembang terus. Maka kemudian tercatat antara Juli dan Desember 1959, ada 9 (sembilan) orang lagi warga Pelambingan dibaptis oleh Pastor Apeldoorn, SVD di Tuka. Mereka itu antara lain I Wayan Ramia (Pan Sengkreg), Ni Wayan Radeh (Men Sengkreg), Ni Wayan Sengkreg, I Made Kasub dan Gusti Putu Bindra. Dengan demikian dari pada 1958 dan 1959 sudah 21 orang dibaptis yang berasal dari Pelambingan.

Sementara itu di Pengilian, yang tercatat pertama masuk Katolik adalah I Made Gubrig (Pan Murdi / Kak Lingga). Beliau sebenarnya dikenal sebagai orang yang sangat suka mempelajari mantera-mantera, termasuk juga yang berkaitan dengan black magic. Beliau juga dinilai menguasai ajaran Agama Hindu sebagaimana diajarkan leluhur beliau. Tidak ketinggalan juga ilmu tentang pembangunan dipelajari.

Pan Murdi memiliki dua sahabat yang juga menguasai ilmu setara, yaitu Pan Bhir dari Banjar Kulibul dan Pan Nakti dari Banjar Dama. Ketiga orang ini merasakan hal yang sama yaitu ketidakpuasan tentang ajaran agama yang dipahami selama ini. Mereka sama-sama merasakan tidak mendapatkan jawaban yang jelas mengenai keselamatan di kemudian hari setelah mereka meninggal, terutama tentang surga.

Sebagai orang yang cukup dikenal dan dengan demikian juga berkenalan dengan banyak orang, akhirnya kabar tentang adanya ajaran yang bisa menjawab kegundahan ketiga orang itu sampai juga di telinga mereka. Hanya saja mereka tidak tahu persis di mana sumbernya. Akhirnya atas kesepakatan yang dibuat, Pan Murdi ditemani Pan Nakti bertugas mencari tahu tentang berita itu sementara Pan Bhir memberikan bekal kepada mereka.

Setelah malang melintang bertanya ke sana ke mari, akhirnya mereka bertemu dengan Pan Sekar dari Kerobokan. Oleh Pan Sekar kepada mereka disampaikan bahwa jawaban atas kegundahan yang mereka rasakan hanya bisa ditemukan di dalam Agama Rum (Agama Katolik). Untuk itu Pan Sekar menyarankan agar mereka bertanya kepada guru Agama Katolik dan Pastor yang sudah ada di Bali.

Petunjuk itu kemudian mengantar Pan Murdi ke Pan Paulus di Batulumbung. Kepada Pan Murdi kemudian dijelaskan dan ditunjukkan jawaban atas kegundahan yang selama ini dirasakan. Pan Murdi pun diajak melihat dan mengikuti ibadat agama Katolik di Tuka seperti Salve dan Misa. Pan Murdi pun kemudian meminta agar ada guru Agama Katolik yang bisa datang ke Pengilian untuk memberikan pelajaran agama. Memang kemudian Pan Paulus sendiri yang datang ke Pengilian untuk memberikan pelajaran agama Katolik. Beberapa orang lain kemudian mengikuti Pan Murdi. Akhirnya pada 24 Desember 1958 Pan Murdi bersama anggota keluarganya yaitu Ni Nengah Rempig (Men Murdi), I Wayan Turun (Pan Lingga), Ni Wayan Murdi (Men Lingga), dan I Wayan Lingga. Yang membaptis adalah Pastor P. Apeldoorn, SVD di Tuka.

Tidak lupa Pan Paulus berpesan kepada Pan Murdi bahwa setelah dipermandikan dia dan keluarganya serta orang-orang lain di sekitarnya yang masuk Katolik akan mendapatkan kesusahan yang luara biasa. Mereka akan dikucilkan, barang-barangnya dicuri, sawah diambil dan sebagainya. “Apakah Pan Murdi nanti siap menerima semua itu?” tanya Pan Paulus. Dengan sigap dan tegas Pan Murdi menjawab bersedia karena sangat yakin telah menemukan jawaban atas kegundahan dan ketidaktenteraman hatinya selama ini.
Orang-orang lain yang kemudian juga menerima pelajaran agama Katolik dan mengikuti jejak Pan Murdi menjadi Katolik di Pengilian adalah Pan Besog, I Nyoman Mukra (putera seorang Pemangku), I Made Runtak, Pekak Terus, dan I Ketut Tekek.

Kemudian, di Kulibul sendiri, menurut penuturan Pan Paulus, perintis agama Katolik adalah Pan Gampang, Pan Rani dan Wayan Bhir. Ketiga orang ini mengikuti pelajaran agama di Tibubeneng di rumah I Wayan Redug (Pan Redag). Mereka bertiga sangat giat mengajak saudara-saudara mereka supaya masuk Katolik. Hasilnya memang semakin banyak orang masuk agama Katolik, termasuk di Tibubeneng, Dama, Dawas dan Aseman.

Di Tibubeneng, yang pertama kali dibaptis adalah Dong Cidra yaitu pada 15 Oktober 1960. Dong Cidra menjadi Katolik karena tersentuh oleh cara orang Katolik menyembah Tuhan dalam Sakramen Mahakudus. Awalnya beliau melihat prosesi perarakan Sakramen Mahakudus dari Tuka ke Batulumbung dan kemudian ke Pegending.

Pada tahun 1961 setidaknya 28 orang, termasuk bayi, menerima pembatisan baik dari Banjar Kulibul Kangin, Kulibul Kawan, Tibubeneng, dan Dama. Dari Kulibul Kangin antara lain Nengah Tunas (Pan Bontok) Ni Wayan Tapak (Men Bontok), I Wayan Cedin; di Kulibul Kawan ada I Wayan Bhir (Pan Markus). I Wayan Bhir kemudian menjadi salah satu penggerak penyebaran agama Katolik di Kulibul dan sekitarnya. Di samping karena keyakinan akan kebenaran iman Katolik yang dipegang, status sosial yang melekat pada keluarga I Wayan Bhir juga memberi kontribusi bagi tumbuhnya kepercayaan orang-orang yang menerima pewartaannya.

Sementara di Tibubeneng, menjelang akhir tahun1950-an, yang mengikuti pelajaran agama Katolik adalah Pan Redag, Pan Cidera, Pan Karma, Pan Nakti, Pan Budal, Pan Jagung, Nyoman Losin, dan Pan Geledag. Pelajaran agama dilaksanakan tiga kali seminggu oleh Pan Paulus ditemani Pan Murdi. Mereka sangat rajin mengikuti pelajaran agama. Namun ketika mendekati saat-saat pembaptisan Pan Budal, Pan Jagung dan Pan Geledag tidak lagi mengikuti pelajaran agama. Mereka yang kemudian dibaptis pada 1961 antara lain I Wayan Redug (Pan Redag) sekeluarga dan I Made Dasa sekeluarga, I Wayan Rampud (Pekak Cidra) dan anaknya I Nyoman Dasi (Pan Cidra) beserta keluarga mereka; lalu di Banjar Dama I Wayan Regog (Pan Nakti), I Made Lama (Pan Sarni). Kelompok lainnya di Banjar Dama yang terlebih dahulu dibaptis adalah I Ketut Randi (Pan Tiles) dan I Nyoman Soka pada 24 Desember 1959.

Terkait dengan masuknya agama Katolik di Pegending, dari catatan yang dibuat Pan Paulus diketahui bahwa pada tahun 1937 I Made Somiok dari Banjar Pegending mulai belajar Agama Katolik dari I Made Tengkeng (Pan Paulus) dari Batulumbung. Ketika itu Pan Paulus masih sekolah di Denpasar, dan setiap dua minggu sekali memberi pelajaran Agama Katolik kepada I Made Somiok. Setelah cukup lama menerima pelajaran Agama Katolik, I Made Somiok belum juga berani dibaptis untuk menjadi Katolik. Alasan utama karena I Made Somiok sangat takut pada Gusti Nyoman Ranta dari Banjar Panggelan, yang dikenal sangat pintar tentang ajaran Bali dan terkenal sangat sakti. Tidak hanya I Made Somiok yang merasa takut, namun semua warga Banjar Pegending.

Selanjutnya, saudara sepupu I Made Somiok yaitu I Wayan Ranteg pada tahun 1939 juga ikut belajar Agama Katolik. Di samping itu beberapa orang lainnya yang kemudian mengikuti pelajaran Agama Katolik yaitu I Wayan Ranteg, Wayan Rinteh, dan Gusti Nyoman Sara. Dengan demikian ada 4 orang, termasuk I Made Somiok yang dari tahun 1937 menerima pelajaran Agama Katolik. Hanya saja, setelah waktu yang cukup lama, semuanya belum berani menjadi Katolik. Meski Pan Paulus sebenarnya sempat membaptis anak Gusti Nyoman Sara ketika sedang sakit keras. Sayang, anak itu kemudian meninggal. Demikian juga anak Gusti Gede Gubar sempat dibaptis ketika sakit keras. Anak ini pun akhirnya meninggal. Kedua anak itu dibaptis ketika masih bayi, kira-kira berumur 2 – 3 bulan.

Rupanya upaya mengabarkan Karya Keselamatan Tuhan yang telah cukup lama dilakukan oleh Pan Paulus belum mendapat tanggapan positif. Bahkan benih-benih yang tertabur di Pegending akhirnya menghilang dalam waktu cukup lama. Baru pada tahun lima puluhan, pewartaan karya keselamatan mulai lagi muncul dalam beberapa catatan dan tuturan.

Seiring perjalanan waktu, kabar keselamatan yang diwartakan para misionaris dan para pewarta rupanya tidak mampu membuat diam dan menutup telinga orang-orang yang mau mendengar.
Setelah cahaya pewartaan karya keselamatan sempat surut beberapa tahun, pada tahun 1957 berkas-berkas cahaya itu mulai tampak lagi di Pegending. Dinamika itu mulai terasa setelah I Kanda bersama isteri dan anaknya I Made Bered (Pan Yusa) kembali dari Palasari. Memang ketika tiba di Pegending, keluarga Katolik ini merasa takut karena tidak menemukan saudara-saudara Katolik yang lain ada di sana. Meski I Gusti Nyoman Ranta, penentang gigih Agama Katolik, telah tiada, ketakutan itu tetap ada karena ternyata ada I Made Gelibug yang juga menentang Agama Katolik dan menjadi orang yang ditakuti di seluruh Pegending.

Ketekunan, kesetiaan, kegigihan dan semangat pewarta karya keselamatan, dalam hal ini Pan Paulus dari Batulumbung, akhirnya senantiasa menciptakan peluang-peluang baru dalam pewartaan. Lapangan sepak bola yang waktu itu ada di Tuka ternyata menginspirasi Pan Paulus untuk mempertemukan dalam persahabatan para pemuda Tuka dan Pegending. Melalui klub sepak bola di kedua banjar, persinggungan antara kedua masyarakat akhirnya semakin intens. Saat itu di Tuka sudah banyak yang masuk Katolik.

Akhirnya setelah sekitar 3 (tiga) bulan persahabatan melalui kegiatan olah raga itu berjalan, Pan Paulus mendengar bahwa ada orang Pegending yang tertarik untuk menerima Kabar Gembira. Dibuatlah kemudian oleh Pan Paulus perkumpulan (sekaa) bagi mereka yang mau masuk Katolik. Pelajaran agama dilaksanakan di rumah I Ketut Tantra (Pan Suasti). Jumlah yang ikut pelajaran agama Katolik hanya 6 keluarga, ada juga anak-anak sebanyak 5 orang. Pelajaran agama diberikan oleh Pan Paulus sendiri dibantu oleh dua frater asal Palasari, yaitu Frater Gede Miarsa dan Frater Thomas.

Dengan demikian, hingga tahun 1961 pada dasarnya di seluruh wilayah Paroki Kulibul (sebagaimana lingkupan wilayah pelayanan dipahami sekarang), secara merata telah menyebar dan tumbuh benih-benih iman Katolik yang memberikan harapan akan semakin suburnya perkembangan umat Katolik. Atas kegigihan, ketekunan, kesetiaan, kesabaran di atas semangat kasih yang menjadi jaminan, para misionaris mulai dari Pastor Apeldoorn SVD, Pastor Joseph Flaska SVD, Pater Norbert Shadeg didampingi para pewarta/pengajar dari kalangan awam seperti Pan Paulus yang kemudian dibarengi pula oleh mereka-mereka yang telah menjadi Katolik di seluruh Paroki Kulibul, umata Katolik pun semakin tumbuh dan berkembang.

Yang cukup fenomenal adalah baptisan pada 30 Oktober 1965 yaitu sebanyak 147 orang dari 57 Kepala Keluarga dari 14 banjar yang ada di Desa Canggu bagian Timur (kini banjar-banjar di bagian Timur tergabung dalam wilayah Desa Tibubeneng). Dan tidak tanggung-tanggung, yang menjadi saksi/wali baptis saat itu adalah Bapak Tjokorde Oka Sudarsana dan Ibu dari Puri Ubud. Beliau adalah keluarga Puri Ubud yang tentara dan menjadi Katolik. Mayor Oka, begitu beliau acap disebut, sangat setia membantu Pastor menyiapkan calon-calon baptis.

Memang dari beberapa catatan diketahui bahwa di sekitar tahun 1965 (G 30 S PKI) atau Gestapu, pertumbuhan dan perkembangan umat Katolik di Paroki Kulibul cukup pesat. Hal ini karena gonjang-ganjing situasi saat itu, terutama terkait dengan keamanan jiwa dan raga, pribadi maupun keluarga, membuat banyak orang merasa tidak nyaman, merasa tertekan, khawatir dan takut. Para misionaris dan orang-orang yang sudah menjadi Katolik pada saat itu kemudian menjadi tempat mencari perlindungan. Dan memang terbukti kemudian mereka sungguh aman, jauh dari intrik dan permufakatan jahat. Dalam hal inilah Mayor Oka mempunyai peranan sangat penting, terutama dalam melindungi masyarakat, terutama juga umat Katolik dan para misionaris.

Selanjutnya pada tahun-tahun berikutnya tetap terjadi permandian. Pada tahun 1968 dipermandikan 65 orang dan pada tahun 1971 dipermandikan 43 orang. Dengan demikian, sejak 1958 sampai dengan tahun 1971 jumlah umat Katolik di Paroki Kulibul sekitar 400-an orang. Namun atas berbagai desakan hidup dan keinginan hidup lebih baik sembari menjajal tantangan hidup baru serta didorong oleh program Pemerintah, antara 1970 – 1971 sebanyak 247 orang umat bertransmigrasi ke Sulawesi. Secara kuantitatif, praktis perpindahan penduduk tersebut menyebabkan melorotnya jumlah umat Paroki Kulibul saat itu.

Masa demi masa bergulir, perubahan demi perubahan terjadi. Demikian juga halnya dengan dinamika kehidupan para warga umat Katolik Paroki Kulibul, yang nota bene adalah manusia-manusia Bali sejati yang telah menemukan keyakinan baru dan menggenggamnya erat-erat karena di sana mereka telah menemukan semua jawaban atas masa lalu, masa-masa sedang berjalan, dan masa-masa datang yang jelas dan membahagiakan hidup rohani mereka.

Masa-masa berikutnya adalah masa-masa di mana pertumbuhan umat, apalagi pertumbuhan berdasarkan baptisan baru penduduk asli Bali yang berpindah keyakinan agama, memang tidak banyak. Sebagian besar pertumbuhan umat didasarkan pada lahirnya keluarga-keluarga baru dari umat yang sudah ada. Namun demikian, pertumbuhan baru yang cukup menggembirakan justru datang dari orang-orang Katolik yang mengadu nasib di Bali dan kemudian tinggal di wilayah Paroki Kulibul. Universalisme Gereja Katolik dan keterbukaan atas dasar kasih Kristiani mendorong berhimpunnya saudara-saudara Katolik dari luar paroki dan luar daerah di dalam pangkuan Gereja Katolik Santo Paulus Kulibul.

Kini umat Paroki Santo Paulus Kulibul adalah umat yang sangat heterogen. Mereka berasal dari berbagai latar belakang suku bangsa, status sosial ekonomi dan pendidikan. Mobilitas masyarakat secara keseluruhan yang sangat tinggi akibat pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan kemudian teknologi informasi dan komunkasi, menyebabkan sekat-sekat di antara masyarakat menjadi sangat tipis bahkan hilang. Penataan pastoral Paroki dan berbagai hal yang terkait dengan itu, menyebabkan perkembangan dan pertumbuhan umat, tidak hanya bagus dari segi kuantitas namun juga kualitas. Rata-rata setiap tiga bulan ada baptisan baru, terutama baptisan bayi, demikian juga keluarga-keluarga baru tumbuh. Jumlah umat Paroki Santo Paulus Kulibul menurut statistik tahun 2010 adalah 846 orang dari 185 Kepala Keluarga.

Berbagai Tantangan
Keluar dari pakem selalu menimbulkan gejolak, demikian juga jika orang pindah keyakinan. Penentangan, pengucilan, bahkan perampasan atas hak-hak asasi bisa saja terjadi. Demikian juga yang dialami oleh para umat perdana, para pembuka jalan keselamatan di Paroki Kulibul.

Pan Paulus, ketika hendak mengajar agama Katolik kepada orang-orang yang menaruh minat, apalagi kemudian hendak dibaptis, selalu berpesan bahwa akan banyak pencobaan, penentangan, hinaan bahkan siksaan yang akan diterima. Dan memang demikianlah yang terjadi. Para umat perdana itu dijauhi, dikucilkan, barang-barang mereka dicuri, mereka dibuang dari hak atas waris dalam keluarga, ketika meninggal tidak boleh dikubur di pekuburan yang sudah ada, dianggap seperti “orang buangan” yang tidak layak menghuni rumah tradisi dan keyakinan yang sudah mendarah daging.

Tengoklah misalnya kisah Dadong (nenek) Cidra dari Tibubeneng. Nenek yang berkobar-kobar saat berkenalan dengan Kristus itu dan kemudian menjadi perintis Kekatolikan di Tibubeneng, saat meninggal, jenazahnya tidak boleh dikubur di pekuburan adat yang sudah itu, waktu itu Setra (kuburan) Padonan. Warga Banjar Tibubeneng, Dama, Dawas, Kulibul, Aseman berjaga-jaga dengan pedang dan pentungan di kuburan Padonan, saling bergantian, untuk menghadang jangan sampai Dong Cidra dikubur di sana. Kalau itu terjadi, mengingat senjata yang mereka bawa, maka pertumpahan darah antar orang-orang yang sejatinya saling bersaudara, pasti tidak bisa dihindarkan.

Tidak seorang pun, termasuk keluarga dekat Dong Cidra yang mendekat karena takut sanksi adat. Keluarga Dong Cidra dibiarkan mengurus sendiri segala hal yang terkait dengan meninggalnya Dong Cidra. Oleh situasi seperti itu maka Pan Paulus kemudian menulis surat kepada orang-orang Katolik yang ada di Tuka, Padang Tawang, Babakan dan sekitarnya agar datang ke rumah Dong Cidra untuk membantu keluarga duka mengurus hal-hal yang diperlukan untuk menyemayamkan Dong Cidra. Namun pemakanan sudah jelas tidak bisa dilaksanakan karena kuburan sudah dijaga. Selama lima hari kuburan dijaga dan selama itu pula umat Katolik dari Tibubeneng dan sekitarnya menjag Dadong Cidra di rumah secara bergantian dan saling menyemangati. Situasi menjadi panas dan penuh kekhawatiran.

Akhirnya Bapak Bupati Badung datang ke Banjar Dama (karena kuburan Padonan letaknya persis di selatan Banjar Dama) dan mengumpulkan semua warga di sana, juga umat Katolik untuk mengadakan perembugan (rapat). Diputuskan kemudian umat Katolik memperoleh tanah untuk dijadikan kuburan di Pegending. Tanah ini milik Pan Suasti yang ditukar oleh Pemerintah dengan tanah sawah milik Pemerintah. Tanah di Pegending ini kemudian dipakai untuk kuburan bagi umat Katolik dan Protestan di Pegending, Pengilian, Dama, Dawas, Tibubeneng, Kulibul dan Aseman.

Warga Katolik lainnya di Tibubeneng juga mendapatkan tantangan yang tidak jauh berbeda. Ada yang sawahnya diancam akan diambil oleh saudara-saudaranya yang lain, ada pula yang diancam diusir. Hasil paruman (pertemuan) Banjar di Tibubeneng bahkan memutuskan untuk memisahkan (mengasingkan) orang Katolik dari “pesuka-dukan” Banjar. Banyak anggota Banjar yang tidak mau berbicara dengan mereka (puik). Barang-barang mereka sering dicuri. Namun mereka, Pan Redag, Pan Karma, Pan Cidra, I Nyoman Losin (Pan Darsana) tidak takut. Mereka tetap setia, tekun, sabar memikul “salib” yang mereka alami.

Tantangan lain dialami oleh Pan Murdi di Pengilian. Setelah dibaptis, warga Pengilian tidak mau berbicara dengan Pan Murdi. Bahkan dibuat awig (aturan): siapa yang berbicara dengan Pan Murdi dikenai denda Rp 25. Pada saat itu tentu denda itu sangat besar dan oleh karena itu pasti memberatkan. Lalu barang-barang Pan Murdi juga dicuri, rumahnya dilempari, sanggah (tempat pemujaan keluarga) dibuang, dan diancam tidak akan diberikan kuburan bila meninggal. Namun Pan Murdi tidak pernah surut untuk tetap berpegang pada iman Katolik yang baru dipelarinya dan secara drastis telah membuat dia berubah karena melihat kebahagiaan luar biasa di hari kemudian bersama Sang Juru Selamat.

Sejawat Pan Murdi dari Banjar Dama yaitu Pan Nakti memang tidak mengalami tantangan dan penentangan seperti saudara-saudaranya seiman dari banjar lain karena dia disegani di Banjar Dama. Namun demikian tantangan terberat justru datang dari keluarganya sendiri, yaitu isterinya. Sang isteri (Men Nakti) sering menyiraman air basuhan tangan ke makanan dan kepala Pan Nakti kalau Pan Nakti berdoa sebelum makan. Anggota keluarga lain juga sering menganjurkan supaya Pan Nakti berhenti menjadi Katolik.

Sementara di Kulibul, kisah Men Nyelep bisa menjadi salah satu ingatan bagi kita bagaimana umat Katolik pada awal di Kulibul mendapatkan tantangan yang berat. Menurut penuturan Pan Paulus, di Kulibul diberlakukan aturan Banjar bahwa siapa yang masuk menjadi Katolik akan dikenakan denda “ngingu” (memberikan nasi kepada semua anggota banjar baik laki maupun perempuan). Ketika Men Nyelep masuk Katolik aturan itu pun dikenakan kepadanya. Namun Men Nyelep yang janda dengan banyak anak dan miskin, tidak mampu membayar denda itu. Akhirnya dalam pertemuan Pan Rani, Pan Gampang, Pan Redag, Pan Markus (Wayan Bhir), Pan Karma dan Pan Paulus, Kak Markus mengusulkan supaya semua warga Banjar Kulibul membubuhkan cap jempol pada surat permohonan bantuan yang akan diajukan ke seluruh orang Katolik di Bali sehingga dengan demikian Men Nyelep bisa membayar denda yang ditimpakan kepadanya. Namun ternyata semua warga tidak mau membubuhkan cap jempol yang dimintakan. Dengan demikian Men Nyelep tidak bisa mengajukan permohonan bantuan untuk membayar denda itu. Dan akhirnya warga Banjar Kulibul membuat perdamaian dengan jalan menghilangkan ketentuan denda “ngingu” bagi orang yang akan masuk Katolik.

Berbagai tantangan dan hambatan, waktu demi waktu, tahun demi tahun dihadapi oleh para perintis iman Katolik di Kulibul. Para misionaris dan guru agama senantiasa dengan setia menemani dan membantu mereka, menguatkan mereka, sehingga iman mereka semakin kokoh, harapan mereka semakin jelas dan dekat. Perlahan namun pasti, benih-benih iman Katolik yang ditabur akhirnya memunculkan tunas-tunas baru di seluruh wilayah Paroki Kulibul.

II. Perkembangan Gereja Fisik
“….Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (Kis 2: 47)

Apa yang tertulis dalam Kisah Para Rasul di atas ternyata terjadi juga pada umat Katolik di Kulibul dan sekitarnya. Tanpa disadari jumlah mereka yang bergabung dengan Gereja Katolik semakin bertambah. Maka padatahun 1960 timbullah gagasan untuk Pastor Joseph Flaska SVD bersama dengan beberapa tokoh antara lain I Wayan Bhir [Pan Markus], I Nengah Seken, Nang Rani, Nang Gampang, Nang Bontok, Pan Latre, Pan Murdi, Pan Nakti, dan Pan Tjidra (kebanyakan dari mereka ini masih katekumen) mendirikan Gedung Gereja sebagai tempat ibadat. Atas usaha dan semangat yang gigih dari para tokoh ini, maka tanah untuk membangun Gedung Gereja pun diperoleh dengan membeli tanah Pan Sukada (I Nengah Gelibug), yang luasnya 43 m x 21m = 903 m2 seharga Rp 10.330,- ditambah pembangunan sebuah rumah untuk Pan Sukada. Setelah mendapat persetujuan dan gambar bangunan gedung gereja atas jasa Mgr. H. Hermens SVD dan Bruder Ignatius SVD dengan STM Palasari, maka Pastor Flaska, SVD memulai pembangunan gedung ini. Tetapi sebelum bangunan selesai beliau pindah tugas dan akhirnya pembangunan dilanjutkan di bawah pimpinan P. Norbert Shadeg SVD. Pembangunan gedung ini dimulai pada tahun 1961 dengan kepala tukang I Gst.Made Rai dari Gaji. Puji Tuhan pembangunan gedung ini berjlan dengan lancar sebab sebagian dari pengerjaannya digarap di Palasari oleh Br. Ignatius SVD bersama dengan para siswa STM nya. Berkat kerjasama yang baik antara gembala, umat dan para tukang, gedung gereja dapat diselesaikan dan bisa difungsikan.

Pada Hari Minggu Misi tanggal 23 Oktober 1961 gedung gereja ini diberkati oleh oleh Mgr. Dr. Paulus Sani Kleden SVD. Inilah gereja pertama yang beliau berkati setelah ditahbiskan menjadi uskup Denpasar pada tanggal 3 Oktober 1961 di Palasari. Untuk mengenang momen ini maka gereja yang pertama beliau berkati ini diberi nama PAULUS. Dengan diberi nama pelindung St.Paulus diharapkan agar umat meneladani sikap hidup dan semangat Santo Paulus.

Benih yang ditaburkan oleh para misionaris ternyata semakin tumbuh subur dan berbuah, antaralain terbukti dengan semakin bertambahnya jumlah umat. Melihat kenyataan ini dan juga karena tempat mereka yang terpencar-pencar maka timbul gagasan dari P. Norbert Shadeg, misionaris asal Minnesota, Amerika Serikat untuk mendirikan berberapa kapel. Tujuan utama pembangunan kapel ini adalah untuk lebih mengefektifkan karya pelayanan umat.

Pada tahun 1971, P. Shadeg membangun sebuah kapel di pekarangan Nang Reti, Banjar Pelambingan. Nang Reti dengan rela meminjamkan tanahnya untuk pembangunan kapel ini. Dengan adanya kapel ini maka pembinaan iman umat di wilayah selatan makin baik.

Pastor Shadeg SVD bekerjasama dengan umat juga mendirikan kapel di Pegending pada tahun 1971. Untuk pembangunan ini sebelumnya atas bantuan I Ketut Tantra (Pan Suasti) beliau membeli sebidang tanah yang luasnya 18 are. Gusti Kompiang dari Dalung menjadi kepala tukang pembangunan kapel ini. Setelah pembangunannya selesai, maka pada tanggal 8 Desember 1973, Mgr. Antonius Thijssen SVD memberkati kapel ini dengan nama pelindung ”GembalaYang Baik”. Menurut P.Shadeg, SVD inilah kapel pertama yang beliau berkati setelah beliau menjabat sebagai Administrator Keuskupan Denpasar. Beberapa tahun kemudian atas prakarsa P.Robert Rewu SVD kapel ini direhab karena usianya sudah tua. Setelah proses rehab selesai, pada tanggal 4 Oktober 1992, kapel ini kembali diberkat. Kali ini oleh Romo Tarsisius Natawijaya Pr, sebagai Romo Quasi Paroki St. Paulus mendapat delegasi dari BapakUskup untuk memberkati kapel yang baru direhab ini.

Kapel ini digunakan oleh umat di sekitarnya dan juga oleh umat Quasi Paroki Santo Paulus Kulibul khususnya pada peryaan ulang tahun kapela, pada Hari Natal II dan Paskah II. Pada perayaan seperti ini kapel jadi penuh sesak; karena itulah kemudian muncul gagasan dari P. Mariatma SVD untuk memugar kapel ini menjadi sedikit lebih luas. Disamping karena begitu kecil juga karena ada bagian-bagian dari kapel ini memang sudah perlu diperbaiki. Ini terjadi pada tahun 2008 dan sampai sekarang memang belum terselaikan. Umat tetap optimis bila ini sudah merupakan rencana Tuhan, maka pasti akan dapat terselesaikan. ”DEUS PROVIDEBIT” (Tuhan akan menyelenggarakan).

Selain kedua kapel di atas, atas prakarsa P. Pankratius Mariatma SVD, pada tahun 1972 didirikan sebuah kapel di Pengilian, di pekarangan Pan Murdi (Pekak Lingga). Beliau merelakan bagian dari pekarangannya sebagai tempat untuk mendirikan kapel. Inilah salah satu bentuk dari jemaat perdana (cf. Kis 2:44 ; 4:32). Tujuan pembangunan kapel ini adalah agar pembinaan iman umat semakin mantap dan umat lebih banyak dapat beribadat. Oleh karena perkembangan kondisi dan situasi, kapel ini dan juga di Pelambingan tidak difungsikan lagi (bangunannya sudah dibongkar).

Untuk lebih mengefektifkan karya pelayanan pada umat dan supaya bisa lebih dekat dengan umat, kurang lebih tahun 1975, Pastor Agustinus de Boer SVD membangun kamar penginapan lengkap dengan kamar mandi untuk Pastor di samping gereja induk di Kulibul.

Waktu terus berganti, disamping iman umat terus perlu diperbaharui, bangunan gedung-gedung yang ada juga perlu diperbaharui. Pada masa kegembalaan P. Rafael Tito Giron SVD yang dibantu oleh Bruder Yohanes SVD, kamar penginapan yang dibangun oleh P. Agustinus de Boer direnovasi menjadi bangunan ”Balai Kencana”. Bangunan ini lengkap dengan tempat tidur, dapur, kamar mandi, ruang pertemuan dan ruang tamu. Balai Kencana ini diberkati oleh Mgr. Antonius Thijssen SVD pada tanggal 25 Agustus 1979.
Disamping itu pada tahun 1985, P. Norbert. Shadeg SVD bersama umat mengadakan rehab terhadap bangunan gereja pada bagian depan, yakni dengan memberi repel style Bali sehingga tampak depan gereja nampak lebih mencerminkan budaya Bali.

Pembaharuan iman umat perlu juga kiranya didukung dengan pembaharuan fisik gereja, apa lagi usia gereja sudah semakin tua. Karena itu Romo Tarsisius Natawijaya Pr bersama umat kembali mengadakan beberapa kali rehab. Kali ini rehab diadakan pada bagian dalam gereja, yakni pada bagian panti imam, yang dulunya ada lukisan dengan cat diganti dengan background ukiran dan candi bentar seperti nampak sekarang. Dilanjutkan kemudian dengan pembuatan sakristi di samping kiri dan untuk petugas koor di samping kanan. Rehab berlanjut kemudian ke bagian tengah gereja disertai dengan pembuatan menara lonceng.Rehab ini diadakan pada tahun 1993/1994. Dan supaya umat dapat mengikuti ibadat dengan lebih nyaman maka tempat duduk pun diperbaharui dengan bangku seperti yang ada sekarang. Setelah rehab dianggap selesai lalau gereja kembali diberkati. Kali ini P.N.Shadeg mendapat delegasi dari Mgr.Vitalis Djebarus SVD untuk memberkati gedung gereja yang telah direnovasi pada tanggal 30 Oktober 1994. Gedung gerejapun nampak semakin kokoh, sekokoh iman umat.

Tetapi rupanya umat Quasi Paroki St Paulus Kulibul masih memiliki satu kerinduan lagi, yakni mereka ingin selalu bisa dekat dengan gembalanya dan memiliki gembala yang tetap untuk jangka waktu tertentu karena selama ini pastor-pastor yang bertugas di Kulibul tinggal di tempat lain seperti di Babakan dan Seminari. Demikian juga dengan sang gembala rindu untuk bisa semaksimal mungkin ada di tengah-tengah dombanya. Timbullah gagasan dari Romo Herman Yosef babey Pr untuk mendirikan sebuah pastoran, sebagai salah satu syarat supaya gembala bisa tinggal di tengah kawanan dombanya.Walaupun sebelumnya ada pro dan kontra tetapi akhirnya dengan tekad bulat umat sepakat untuk membangun sebuah pastoran. Mulailah disusun perencanaan untuk pembangunan pastoran.

Setelah berbagai pertimbangan diputuskan pastoran di bangun di atas sebidang tanah yang dibeli oleh P. Dohmen SVD. Dalam perencaan ini mudika tidak mau ketinggalan, mereka mengawali pengumpulan dana dengan mengadakan bazar. Karena pembangunan sudah merupakan tekad umat, maka umat bersama Romo Yasintus Nahak Pr, yang menggantikan Romo Babey karena mendapat tugas baru dan juga bersama Romo Klemens Bere Pr yang kemudian menggantikan Romo Yasintus bekerja keras untuk pembangunan pastoran ini. Dibantu oleh para donatur dan usaha keras dari umat akhirnya pastoran ini dapat terselesaikan dan diberkati oleh Mgr. Benyamin Yosef Bria Pr pada tanggal 21 Juli 2002.

Tidak lama kemudian kerinduan umat untuk mendapat seorang gembala yang tinggal di tengah-tengah mereka juga terpenuhi. P. Pankratius Mariatma SVD mendapat SK dari Bapak uskup untuk membantu di Quasi Paroki Santo Paulus Kulibul. Tentu saja umat dengan gembira menyambut kehadiran beliau.

Melihat statistik yang ada di kantor sekretariat ternyata jumlah umat dari tahun ke tahun terus bertambah, sehingga tidaklah mengherankan kalau gereja sepertinya nampak semakin sempit. Melihat situasi ini P. Mariatma SVD dan P. Fredy Dhay SVD mengajak umat untuk memperluas bangunan gereja dengan cara memugar bangunan Balai Kencana. Umat menyambut dengan antusias ajakan gembalanya ini. Perluasan diadakan ke arah utara dan ke atas (membikin lantai II) dengan maksud bagian bawah merupakan ekstensi dari gereja dan lantai II untuk Balai Kencana. Dengan demikian Balai Kencana tetap ada sehingga umat tetap memiliki ruang pertemuan. Untuk memperindah tampilan gereja, gapura yang ada pun dipugar dan diganti dengan Kori Agung. Hal hasil gereja nampak semakin megah disamping semakin menunjukkan kekhasan budaya Balinya. Tepat pada pesta pelindung Quasi Paroki St. Paulus Kulibul, tanggal 29 Juni 2006, Mgr. Benyamin Yosef Bria Pr memberkati Kori Agung dan bangunan yang telah direnovasi.

Semua rehab dan renovasi terhadap gedung gereja di atas terjadi ketika Paroki St. Paulus Kulibul masih berstatus Quasi.
Setelah perluasan gereja ini selesai ternyata gedung gereja masih kekurangan bangku. Akhirnya menjelang Yubileum 50 Tahun Gereja Katolik di Kulibul, umat dengan persetujuan Romo Paroki, Romo Yohanes Martanto Pr dan Romo Rekanan, Romo Maximus Agustinus Soge Pr sepakat mengadakan pengadaan bangku sekaligus pengecatan ulang pada bagian dalam gereja; sehingga nampaklah keadaan gereja seperti sekarang ini.

Perkembangan fisik gereja merupakan salah satu indikasi perkembangan umat, tidak hanya kwantitas tetapi juga kwalitasnya. Perkembangan ini menunjukkan bahwa jerih payah serta perjuangan para penabur, perintis, para rasul awam, pemelihara tidaklah sia-sia. Benih iman yang meraka tabur telah tumbuh, berkembang dan berbuah. “Paulus menanam, Apolos menyiram, DEUS INCREMENTUM DEBIT” [cf.1 Kor 3:6].

III. Status Wilayah dan Karya Pastoral
Pada masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Gereja Katolik di Kulibul, semua kegiatan pelayanan berpusat di Tuka. Dari wilayah Kulibul dan sekitarnya, umat Katolik secara rutin pergi ke Tuka untuk beribadat dan mendapatkan pelayanan-pelayanan iman yan diperlukan. Umat Kulibul menjadi bagian dari Tuka. Pada waktu itu wilayah pelayanan Tuka meliputi Babakan, Kulibul, Pererenan , dll. Dengan demikian Kulibul sebagai sebuah stasi waktu itu meliputi Pengilian, Pegending, Dama-Dawas, Tibubeneng, Kulibul, Aseman, Tandeg, Pelambingan, Tegalgundul dan Berawa. Wilayah layanan yang secara geografis cukup luas.
Dalam kurun waktu yang cukup lama, meski dalam status stasi, Kulibul pada dasarnya mampu bergerak dan berjalan sebagai sebuah Gereja yang hidup.

Hubungan antar umat yang sangat guyub, “raket” (erat dan menyatu) dalam nasib dan penanggungan yang sama sebagai pengikut-pengikut Kristus, membuat segala sesuatunya bisa dipenuhi secara mandiri. Kegotongroyongan dan kebersamaan adalah ciri khas yang sangat menonjol, sehingga apa pun dan bagaimana pun tantangan yang menghadang, mereka selalu mampu mengatasi dengan baik. Para Gembala pun silih berganti dengan setia menggembalakan kawanan mereka yang sangat sederhana dan umumnya petani dengan pendidikan rendah, bahkan banyak yang memang tidak berpendidikan. Pergantian par Gembala yang bertugas merupakan hal yang sangat wajar dan alami, mengikuti pergantian penugasan yang mereka terima dari atasan. Justru karena dinamika seperti itulah, umat Kulibul bisa belajar banyak.

Sekitar tahun 1986 Babakan menjadi Paroki dan Kulibul menjadi bagian dari Babakan. Oleh karena itu, berbagai pencatatan yang berkaitan dengan administrasi keumatan dan karya pastoral dilakukan di dan dari Babakan. Namun demikian, Kulibul tetap mendapat perhatian yang sangat baik, apalagi wilayahnya dengan dengan Seminari dan juga dengan Paroki Tuka. Tidak pernah Kulibul tidak mendapat pelayanan yang semestinya dari para Gembala dan katekis.

Secara sederhana, para pastor yang bertugas di Kulibul dibantu oleh Dewan Stasi yang diambil dari kalangan umat sendiri. Tugas dan fungsi Dewan Stasi ini di samping terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan liturgi, mereka juga merupakan semacam pengurus “pesuka-dukan”, yaitu yang menyangkut urusan-urusan pengerahan umat untuk kegotongroyongan dan kerja bersama, terkait dengan perkawinan, kematian dan sebagainya.

Dalam perkembangan lebih lanjut, untuk mempertegas tugas dan fungsi yang menyangkut pelayanan kerohanian dan pelayanan kebersamaan dalam “pesuka-dukan”, Dewan pun dipilah menjadi dua yaitu Dewan Gereja dan Dewan Paroki (meski Kulibul belum berstatus Paroki). Dewan Gereja bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan kerohanian, liturgi, sakramen; Dewan Paroki menangani bidang yang secara khusus menyangkut “pesuka-dukan”. Umat Gereja Kulibul menentukan sebuah “awig-awig” (peraturan) bagi kebersamaan mereka. Sedikit banyak, model keanggotaan dalam banjar atau desa adat diadopsi. Di dalamnya diatur hak-hak, kewajiban-kewajiban dan sanksi-sanksi yang bagi umat Gereja. Pada satu sisi, segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan hidup menggereja, dari segi kuangan, bisa dipenuhi sendiri oleh umat secara swadaya dan swadana.

Untuk memudahkan penyelenggaraan tugas-tugas pelayanan dan pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai pribadi-pribadi beriman dalam komunitas Gereja, Stasi Kulibul dibagi dalam beberapa lingkungan pelayanan yang lebih kecil yang disebut Kring. Dari wilayah utara ke selatan, Kring-Kring dimaksud adalah: Kring Pegending, Kring Pengilian, Kring Dama-Dawas, Kring Tibubeneng dan Kring Kulibul (yang meliputi Kulibul Kangin, Kulibul Kawan, Aseman Kangin, Aseman Kawan, Tandeg, Pelambingan, Tegalgundul, Kerobokan).

Pada awal tahun 1990-an, untuk memberi roh dan semangat pada keberadaan wilayah-wilayah pelayanan yang disebut Kring sebagai komunitas kemanusiaan sekaligus kerohanian di samping menghilangkan adanya kesan sekat-sekat berdasarkan nama banjar. Ini mengingat wilayah pelayanan Stasi Kulibul mencakup tiga desa. Atas dasar itu maka digantilah nama Kring menjadi Sektor-sektor: Santa Agnes (mencakup Banjar Pegending dan sekitarnya), Santo Yosef (Banjar Pengilian), Santo Stefanus (Dama dan Dawas), Santa Agatha (Tibubeneng), Santo Paulus (Kulibul ke selatan hingga Brawa ditambah Batu Tulung, Banjar Semer dan sekitarnya di Kerobokan).

Sekitar awal tahun 1980-an Stasi Kulibul menjadi Quasi-Paroki Santo Paulus Kulibul. Status ini dimaksudkan untuk mempersiapkan Gereja Kulibul menjadi Paroki. Meski demikian, secara prinsip sebenarnya tidak terdapat perubahan yang terlalu signifikan terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan yang hilirnya ada pada pastor. Harus diakui, dinamika kehidupan menggereja di Kulibul memang dipengaruhi pula oleh bagaimana para Gembala memberi warna pada tugas-tugas pastoralnya. Pada masa ini, sejalan dengan perkembangan umat Quasi-Paroki Kulibul yang semakin banyak terutama dengan masuknya saudara-saudara dari luar daerah menjadi anggota Gereja, terbentuklah kemudian Sektor baru yang disebut Sektor Santo Gabriel, terletak di perumahan Pegending Permai.

Setelah menjadi Quasi-Paroki dalam kurun waktu yang cukup lama, pada bulan Januari 2007 Uskup Denpasar Mgr. Benyamin Bria, Pr mengeluarkan Surat Keputusan yang menentukan status Gereja Kulibul menjadi Paroki dan mengangkat Pastor Pankratius Made Mariatma, SVD menjadi Pastor Paroki. Peranan dan fungsi-fungsi pastoral diselenggarakan oleh Dewan Pastoral Paroki di bawah pimpinan langsung Pastor Paroki. Dengan status keparokian ini, Kulibul menjadi semakin mantap bertolak lebih dalam lagi menggenggam semangat Santo Paulus untuk menjadi Gereja yang mandiri, inklusif dan bermakna dalam wilayah Keuskupan Denpasar.***