Minggu, 11 September 2016

Apakah Tugas Akolit (Misdinar)?




Akolit merupakan panggilan pelayanan. Namun pertama-tama harus disadari bahwa akolit merupakan anggota umat beriman. Dalam persekutuan liturgis tersebut ia merupakan bagian dari umat Allah. Ia harus hadir sebagai umat dengan tujuan utama merayakan peristiwa keselamatan dalam liturgi.  Bersama dengan umat Allah, seorang akolit dipanggil untuk melaksanakan tugas pelayanan khusus yakni mendampingi pemimpin perayaan pada saat-saat tertentu demi memperlancar tugas pemimpin. Dengan demikian secara tidak langsung akolit melayani juga umat yang datang untuk merayakan liturgi di bawah pimpinan selebran utama. Seluruh pelayanan akolit harus menjadi doa, bukan semata-mata satu pelayanan teknis.

Dalam liturgi Gereja, kita mengenal macam-macam pelayan khusus. Ada pelayan yang menjalankan tugasnya berdasarkan tahbisan seperti diakon, imam, uskup, paus. Tetapi  ada juga pelayan tak tertahbis. Pelayan tak tertahbis mengemban tugas khusus berdasarkan imamat rajawi yang mereka terima pada saat pembaptisan. Pelayan tak tertahbis itu antara lain pemimpin koor, pembawa bahan persembahan, akolit, dan lektor.

Inti dari seluruh perayaan liturgi adalah menghadirkan misteri keselamatan. Seluruh umat Allah merayakan misteri keselamatan. Dalam perayaan tersebut, semua tugas pelayanan membantu mengarahkan perhatian umat kepada inti misteri keselamatan. Dengan pelayanan para akolit serta pelayan liturgi lainnya, diharapkan umat menghayati atau mengalami inti misteri yang dirayakan. Pusat perhatian harus diberikan kepada inti misteri. Hendaknya akolit menarik perhatian umat kepada inti misteri bukan kepada dirinya sendiri. Ia mesti berusaha agar umat dapat lebih bersatu dengan inti misteri yang sedang dirayakan. Oleh karena itu seluruh sikap atau gerak-gerik dan perhatian dari akolit harus diarahkan atau dipusatkan kepada inti misteri itu.

Seperti semua pelayan liturgi lain, seorang akolit harus ikhlas, jujur, wajar. Ia harus mampu mengungkapkan misteri Allah dengan anugerah-Nya dan keterbukaan manusia terhadap misteri itu. Penampilan yang jujur dan ikhlas perlu sekali. Ia harus memelihara dan menjaga seluruh gestikulasi yang berhubungan erat dengan mata, wajah, tangan, kaki. Dengan kata lain ia harus memelihara disiplin tubuhnya dan tentu saja disiplin hati. Tubuh dan hati yang punya disiplin akan jauh lebih mudah mengarah kepada sumber keutuhan dan disiplin itu sendiri yaitu Tuhan. Dengan cara itu ia menarik perhatian umat kepada inti misteri perayaan, kepada Tuhan dan karya-karya-Nya yang agung.

Berdasarkan pemahaman ini, dapat dilihat bahwa pelayanan seorang akolit memiliki tiga dimensi. Pertama, dengan pelayanannya seorang akolit membantu menghadirkan misteri keselamatan yang datang dari Allah. Di sini seorang akolit melayani Allah. Kedua, seorang akolit pun melayani umat dalam arti membantu mengarahkan perhatian umat kepada inti misteri keselamatan. Ketiga, secara teknis seorang akolit melayani imam atau diakon, yang bersama-sama bertugas untuk melayani Allah dan umat Allah.

Pelaksanaan Tugas Akolit
Peran akolit yang mendapat perhatian kita di sini adalah fungsi teknisnya untuk membantu imam ataupun diakon. Walaupun dikatakan bahwa ini fungsi teknis, pelaksanaan fungsi inilah yang merangkum ketiga dimensi dari fungsi seorang akolit. Melalui pelayanannya kepada imam atau diakon, seorang akolit melayani kehadiran Allah dan juga melayani umat dalam memberikan tanggapan terhadap sapaan Allah. Dengan menjalankan sebaik-baiknya tugas pelayanan yang sifatnya teknis itu, ia mengarahkan seluruh perhatian kepada inti misteri yang dirayakan.  Seluruh sikap gerak geriknya mesti mengarah pada inti misteri dan menarik perhatian umat ke sana. Fungsi akolit tak terlaksana bila dengan gerak geriknya ia menarik perhatian umat kepada dirinya atau kepada hal lain.  Dalam hal ini akolit harus memiliki disiplin diri: disiplin hati dan budi, disiplin gerak, disiplin mata.

Akolit sesuai dengan fungsinya selalu bersama pemimpin liturgi. Ia melayani pemimpin liturgi mulai dari sakristi hingga kembali ke sakristi. Ia melayani pemimpin upacara supaya pemimpin liturgi itu dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan lancar.
Berikut ini diuraikan tugas-tugas akolit menurut tahap-tahap perayaan liturgi khususnya Ekaristi. Agar memudahkannya, tahapan ini dibedakan ke dalam Ritus Pembuka, Liturgi Sabda, Persiapan Persembahan, Doa Syukur Agung, Komuni, dan Ritus Penutup.

Ritus Pembuka:
Ritus Pembuka dimulai dari sakristi dan diteruskan dengan perarakan menuju ke altar sementara koor atau umat menyanyikan Lagu Pembuka.
Tugas akolit di sini adalah sebagai berikut:
1      Berjalan bersama imam, berarak bersama mendahului imam. Dengan seluruh sikapnya akolit turut membantu menyiapkan seluruh umat mengambil bagian dalam perayaan sambil mewartakan bahwa Tuhan sedang mendatangi umat-Nya dan mau tinggal di tengah mereka. Para akolit membawa serta sejumlah peralatan liturgis yang secara simbolis mengungkapkan penghormatan kepada Tuhan yang datang ke tengah umat. Peralatan peralatan itu antara lain (khususnya dalam perayaan meriah):
  •       Api dalam stribul (wiruk) dan kemenyan untuk pedupaan.
  •       Salib yang diapit lilin-lilin bernyala.
  •       Bejana dengan air berkat dan alat percik
  •       Lonceng, bila perlu, untuk memberi tanda bahwa perayaan akan segera dimulai.
  •      Tongkat kegembalaan dan mitra uskup (dalam perayaan meriah yang dipimpin Uskup).

2      Di depan altar akolit bersama pemimpin memberi hormat kepada Allah yang hadir di dalam tempat ibadah. Sesudahnya akolit meletakkan peralatan liturgis di tempatnya yang tepat. Misalnya, lilin dapat diletakkan di dekat atau di atas altar, salib dapat dipancangkan di sebelah kiri altar (terutama kalau tak ada salib besar yang menghadap umat) atau dibawa ke sakristi. Pembawa pedupaan mendekati altar dan melayani imam untuk mendupai altar dan salib. Sementara itu akolit yang lain berdiri di tempat yang telah disediakan. Kalau pernyataan tobat dibuat dengan percikan air berkat, akolit atau putra-putri altar membantu membawa air berkat sambil menghantar imam untuk mereciki umat.

3      Akolit dapat melayani imam dengan memegang buku misa di dekat kursi imam agar dapat dibaca oleh pemimpin dengan mudah dan dengan sikap tangan yang sesuai. Akolit dapat juga membantu imam atau diakon untuk mempersiapkan buku misa di altar.

Liturgi Sabda:
      Pada waktu Mazmur tanggapan hampir selesai dibawakan, akolit mengambil pedupaan untuk dibakar oleh imam.
      Bila ada perarakan Kitab Suci, pembawa pedupaan dan lilin mengambil bagian dalam perarakan itu. Tempat mereka ada di depan perarakan .
      Akolit pembawa lilin mendekati mimbar sabda lalu berdiri di sampingnya.
      Di depan mimbar Sabda pembawa pedupaan melayani diakon atau imam untuk mendupai buku bacaan Injil (Evangeliarium).
      Setelah bacaan Injil, para akolit meletakkan peralatan liturgi di tempatnya dan kembali ke tempat duduk masing-masing.

Persiapan Persembahan dan Doa Syukur Agung (DSA)
Pada waktu persiapan persembahan dan DSA tugas dari para akolit adalah:
      Menghantar wakil-wakil umat yang membawa bahan-bahan persembahan ke altar.
      Menyiapkan stribul (wiruk) dan kemenyan.
      Membantu imam menyiapkan altar.
      Menyiapkan altar ( kalau tidak ada diakon, dan kalau mendapat persetujuan dari imam, jadi harus ada konsultasi lebih dulu dengan imam): menghamparkan kain corporale di tengah altar dan meletakkan di atas kain korporale peralatan-peralatan Ekaristi seperti piala dengan pala (penutup piala), patena dengan hosti besar, sibori dengan hosti kecil di dalamnya, kain purifikator (kain pembersih piala).
      Melayani pemimpin untuk mencuci tangan dengan membawa air dan kain lavabo (untuk mengeringkan tangan yang basah). Bila ada pendupaan, ritus cuci tangan ini dibuat sesudah pendupaan. Ketika mengambil pedupaan akolit tunduk di depan altar. Api dalam stribul (wiruk) harus sedang membara agar mudah terjadi pembakaran kemenyan bila dicampur dalam api yang akan menghasilkan kepulan asap dan bau harum mewangi. Hendaknya kemenyan tidak dicampur dengan tepung lilin atau bahan lain yang mengurangkan atau menghilangkan keharumannya.
      Membantu imam dalam pendupaan, mendupai imam pemimpin (lalu konselebran kalau ada) dan mendupai umat. Sebelum pendupaan para konselebran dan umat baiklah diberi tanda supaya mereka berdiri dan  menundukkan kepala lalu akolit mendupai mereka. Pendupaan dibuat 3 x 3.
      Membunyikan lonceng kecil atau alat bunyian lain (sesuai kebiasaan setempat) pada saat awal epiklesis, awal kisah institusi dan sesudah kata-kata konsekrasi.
      Membuat pendupaan di depan altar pada saat hosti dan anggur yang kudus dihunjukkan.

Komuni
      Akolit dapat juga menjalankan fungsi pelayanan komunio (membagi komunio). Akolit dengan tugas khusus ini disebut “pelayan komuni tak lazim”.
      Bila disetujui oleh imam akolit dapat membersihkan dan merapihkan perlengkapan misa sesudah komunio di altar atau di meja credens.
      Memberikan komuni pada orang sakit yang bisa dilakukan sesudah misa.

Ritus Penutup
  • Memberikan penghormatan di depan altar;
  • Mengantar imam kembali ke sakristi.
Ditulis oleh Romo Boli Ujan SVD.

[Sumber: http://www.katolisitas.org/apakah-tugas-akolit-misdinar/. Diakses: Minggu, 11 September 2016)

Perencanaan Bangunan Gereja Baru




Beberapa persyaratan liturgis yang perlu mendapatkan perhatian

[Ditulis oleh Rm. Bosco da Cunha O.Carm, Komisi Liturgi KWI. Dengan persetujuan Rm. Bosco, Katolisitas memberikan beberapa tambahan sumber untuk memberikan penjelasan lanjutan tentang hal yang terkait dengan apa yang disampaikan oleh Rm. Bosco. Tulisan Rm. Bosco dicetak dengan warna hitam, dan tambahan dari Katolisitas, dicetak dengan warna coklat.]

Pendahuluan
Tak dapat disangkal kenyataan bahwa umat Katolik terus bertambah. Rumah gereja terasa menjadi kecil karena tak dapat menampung sekian banyak orang yang datang merayakan Ekaristi hari Minggu dan terlebih pada hari Natal dan Pekan Suci. Beberapa paroki sudah memiliki gereja yang baru; namun demikian masih terbuka kemungkinan untuk keuskupan merencanakan pembangunan sekian gereja di banyak paroki lagi. Biasanya proses pembangunan dimulai dengan pembentukan panitia pembangunan; dan sangat diharapkan dialog yang mantap antara beberapa pihak: yaitu pihak yang membutuhkan (pastor, para liturgis, dewan paroki, dan seluruh umat beriman) dan pihak yang melaksanakan (arsitek, seniman, kontraktor, para tukang, dan teknisi). Dialog hendaknya dimulai sejak penggambaran situasi, sketsa rancangan bangunan, sampai kepada pengadaan bahan-bahan, pemanfaatannya dalam perhitungan dengan keseluruhan bangunan sebagai rumah ibadat Katolik.

Gereja sebagai Rumah Perayaan Umat Beriman

Pemahaman Liturgis

Ruang Arsitektonis dan Peryaan Iman:
Ruang gereja, tempat umat paroki datang berhimpun untuk mendengarkan Sabda Tuhan, untuk berdoa dan menyanyi, untuk merayakan kurban Ekaristi memiliki suatu gambaran dasar yang sangat khusus yakni sebagai kenisah Allah, tubuh mistik Kristus yang dibangun di atas “batu-batu yang hidup”. Oleh karena itu, bangunan rumah ibadat Kristiani berkaitan dengan pemahaman tentang Gereja sebagai umat Allah. Perencanaan dan konstruksi rumah gereja baru harus memperhitungkan persekutuan umat setempat yang mau mengaktualisasikan dirinya seturut gagasan Konsili Vatikan II sebagai:
– persekutuan umat Allah yang berziarah menuju Yerusalem surgawi.[1]
– dan liturgi yang dirayakan merupakan kegiatan Kristus Penyelamat, dalam Roh Kudus, oleh seluruh perhimpunan gerejani, yang ditata dalam tugas-tugas pelayanan, dengan tanda-tanda sakramental yang mendatangkan berkat dan rahmat berlimpah.[2]

Sebagai bangunan, gereja menggambarkan Gereja, umat Allah:
Realitas Gereja dalam hakekatnya yang mengandung misteri dan sakramental terungkap dalam gambaran sejarah penyelamatan “umat Allah” dan secara khusus menyatakan diri dalam himpunan umat yang sedang merayakan liturgi, subyek perayaan Kristiani.[3] Sesungguhnya Yesus Kristus, Sabda yang menjelma, sakramen Allah Bapa, lewat Roh Kudus mengikutsertakan peran keselamatan-Nya kepada umat sebagai nabi, imam dan raja, sehingga pantaslah menjadi kabar gembira, puji-pujian dan pelayanan[4]. Melalui ruangan liturgis ini, baik selama perayaan maupun di luar waktu perayaan, harus dipandang secara simbolik sebagai tempat penyelenggaraan karya keselamatan manusia sehingga harus dibangun indah dan selaras dan bukan sebaliknya (bdk. Rom 8:19-21).

Promosi Persekutuan hidup:
Membangun  suatu “gereja dari batu-batu” mengungkapkan sekurang-kurangnya identitas Gereja sebagai pribadi-pribadi beriman (patantio Ecclesiae), yang hidup bersama dalam ikatan kasih dan persekutuan dengan mana rumah baru dibangun. Pemahaman ini menyangkut pula masalah- masalah masyarakat kita yang kompleks dan dengan perhatian kepada budaya setempat, bergerak maju secara bertahap menuju nilai-nilai terbaik entah melalui perjuangan yang melelahkan menuju kedewasaan beriman dalam communio Gereja.

Membangun suatu gedung gereja baru merupakan usaha pastoral dari pihak yang memainkan peran di dalamnya, tetapi masih dalam proses awali untuk menilainya sebagai gambaran dari suatu jemaat yang hidup dan giat bekerja, yang dibimbing selama perjalanan berdasarkan azas teologis dan kultural.

Suatu proyek kultural, pastoral dan eklesial:
Kita janganlah memandang pembangunan rumah gereja hanya dari sudut bahan-bahan material yang membentuk bangunan rumah. Pertama-tama harus memperhitungkannya dengan Allah dalam kaitannya langsung dengan suatu kelompok umat beriman. Oleh karena itu, bangunan fisik ini harus mampu mendukung suasana kehadiran Misteri yang membangun umat Allah.

Gereja baru dan kesatuan komunitas keuskupan:
Harus diperhitungkan dengan sensibilitas “Gereja induk” di bawah pimpinan uskup. Perlu ada ikatan spiritual dengan katedral sebagai pusat keuskupan. Gereja paroki janganlah dibangun hanya demi persyaratan birokratis-administratif, tetapi sebagai tempat umat berkumpul untuk juga merayakan misteri Pembaptisan, Krisma, Ekaristi bersama uskup dan para imamnya.

Gereja dalam konteks tata-kota:
Ruang dalam bangunan gereja perlu diperhatikan secara khusus; secara arsitektonis hendaknya memberikan kesan tentang misteri kehidupan Gereja yang tengah berjalan di dunia ini menuju pemenuhan akhirat. Di lain pihak perlu memperhitungkan keselarasannya baik sisi dalam maupun sisi luar; sehingga setiap orang secara mudah dapat berkata bahwa inilah gereja, bukan bangunan profan.
Letak bangunan dan tata halamannya hendaknya memperhitungkan ciri khas Gereja yang menuntut keanggunan, ketenangan, kesucian dan keluhuran.

Berikut ini adalah keterangan menurut Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR):
293. Perancangan gereja dan lingkungan sekitarnya hendaknya serasi dengan situasi setempat dan sesuai pula dengan tuntutan zaman. Maka dari itu, tidak cukup kalau hanya syarat-syarat minimal untuk perayaan ibadat dipenuhi. Hendaknya juga diusahakan agar umat beriman, yang secara teratur berhimpun di situ, merasa nyaman.

Pengaturan ruang dalam:
Kesatuan ruang liturgis yang terpadu:
Gereja secara umum harus membawakan gambaran suatu umat yang dipersatukan untuk perayaan misteri-misteri suci, yang diatur menurut sekian banyak macam tugas pelayanan untuk menyukseskan setiap bagian ritus dan memungkinkan partisipasi umat Allah secara aktif- bersemangat.[5]

Menurut yang asli dan dari tradisi, ruangan dalam gereja haruslah diusahakan untuk mengungkapkan dan mendukung secara menyeluruh kesatuan umat beriman sebab merekalah subyek yang merayakan liturgi. Situasi ruangan dalam selalu harus paling diperhitungkan dalam rancangan proyek, sebagai pusat kegiatan liturgi dan menurun dari serambi depan, melebar dalam aula, dan “menyimpul” ke pelataran iman, sebagai ruangan yang menjadi pusat perhatian namun tak terpisahkan dari aula/ ruang umat.

Ruangan sedemikian itu diperhitungkan pertama-tama untuk perayaan Ekaristi; untuk itu dituntut suatu sentralitas yang tidak terlalu geometris, tak perlu pelataran imam menjadi titik fokus sentral dari segala sudut; cukuplah lebih tinggi, berbeda dari yang lain, dalam keseimbangan dengan aula/ ruang umat.

Selain dari itu, tata ruang harus memungkinkan pula bagi perayaan sakramen-sakramen lain: Pembaptisan, Krisma, Tobat, Pengurapan orang sakit, Pentahbisan, Pernikahan dan juga berbagai sakramentali: misalnya, penguburan (pemberkatan jenazah), pemberkatan-pemberkatan, upacara kaul, dengan sekian kemungkinan penyesuaian pastoral yang dapat dilaksanakan di paroki itu.
Kemudian, jarak tempat duduk, ruas jalan untuk Komuni, ukuran dan bentuk tempat duduk, jarak umat dari imam antara satu sama lain harus diperhitungkan dengan memungkinkan kelancaran upacara perarakan, rasa kebersamaan, tidak seperti menonton pertunjukan karena pelataran imam terlalu tinggi; pokoknya tak sampai nilai-nilai itu diganggu oleh hambatan-hambatan arsitektonis.
Hal- hal tertentu ini hendaknya diperhatikan secara cermat: altar, mimbar, tempat pembaptisan, sumber/ tempat air baptis; ruang tobat, tabernakel, tempat duduk imam sebagai pemimpin perayaan. Dalam kesatuan dengan itu; perlu penataan ruang umat, tempat koor dan orgel, serta patung-patung dan lukisan Jalan Salib.

Berikut ini tambahan keterangan dari PUMR:
294. Umat Allah yang berhimpun untuk Misa mempunyai susunan organik hirarkis. Hal itu tampak dalam bermacam-macam tugas dan aneka ragam tindakan yang dilakukan dalam masing-masing bagian perayaan liturgi. Oleh karena itu, tata ruang gereja haruslah disusun sedemikian rupa, sehingga mencerminkan susunan umat yang berhimpun, memungkinkan pembagian tempat sesuai dengan susunan itu, dan mempermudah pelaksanaan tugas masing-masing anggota jemaat.
Umat beriman dan paduan suara hendaknya mendapat tempat yang memudahkan mereka berpartisipasi secara aktif di dalam liturgi.

Imam, diakon, dan pelayan-pelayan lain hendaknya mengambil tempat di panti imam. Di sini pula hendaknya disiapkan tempat duduk untuk para konselebran; tetapi kalau jumlah konselebran besar, hendaknya tempat duduk mereka diatur di bagian lain di gereja, tetapi masih dekat dengan altar.
Jadi tata ruang gereja harus menunjukkan susunan hirarkis umat dan keanekaragaman tugas-tugas. Meskipun demikian, tata ruang gereja harus mewujudkan kesatuan, supaya dengan demikian tampaklah kesatuan seluruh umat kudus. Penataan dan keindahan ruang serta semua perlengkapan gereja hendaknya menunjang suasana doa dan mengantar umat kepada misteri-misteri kudus yang dirayakan di sini.

295. Panti imam adalah tempat di mana altar dibangun, sabda Allah dimaklumkan, dan imam, diakon  serta pelayan-pelayan lain melaksanakan tugasnya. Panti imam hendaknya sungguh berbeda dari bagian gereja lainnya, entah karena lebih tinggi sedikit, entah karena rancangan dan hiasannya. Panti imam hendaknya cukup luas, sehingga perayaan kudus dapat dilaksanakan dengan semestinya dan kegiatan yang dilaksanakan di sana dapat dilihat dengan jelas.

311. Tempat umat beriman hendaknya diatur dengan seksama, sehingga mereka dapat berpartisipasi dengan semestinya dalam perayaan-perayaan kudus, baik secara visual maupun secara batin. … Kebiasaan menyediakan tempat duduk istimewa bagi orang-orang tertentu harus dihapus. Khususnya dalam gereja-gereja yang dibangun baru, bangku atau tempat duduk lain itu hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga umat dengan mudah dapat melaksanakan tata gerak yang dituntut dalam aneka bagian perayaan, dan tanpa hambatan dapat maju untuk menyambut Tubuh dan Darah Kristus.
Hendaknya diusahakan, agar umat tidak hanya dapat melihat imam, diakon, dan lektor, tetapi juga, dengan bantuan sarana teknologi modern, dapat mendengar mereka tanpa kesulitan.

Altar
Altar adalah pusat utama bagi umat beriman; merupakan poros komunitas yang melaksanakan perayaan. Janganlah terdiri dari bahan yang sederhana, tetapi harus selaras dengan peranannya sebagai tanda permanen Kristus, imam dan korban. Altar adalah meja korban persembahan dan perjamuan Paskah di mana Allah Bapa menghidangkan bagi putera-puteri-Nya dalam rumah keluarga: sumber dan tanda kesatuan dan cinta kasih. Oleh karena itu hendaknya jelas terlihat dari segala pihak dan sungguh layak. Berdasarkan dua persyaratan ini harus diperhitungkan bahwa penempatan altar menuntut jarak yang leluasa dari berbagai sudut. Hendaknya “unik” dan terletak di tengah pelataran imam’ mampu bertemu pandang dengan semua di sekitarnya.

Perlu diingatkan bahwa meskipun ditempatkan secara seimbang pada keseluruhan pelataran imam, altar harus mampu menjamin perannya sebagai “titik pusat” perayaan liturgi. Hal ini hanya mungkin kalau altar memenuhi syarat dalam berbagai dimensi liturgi. Tinggi altar kira-kira 90 cm dari lantai, agar memudahkan pelaksanaan tugas-tugas pemimpin upacara yang harus mengemudikan seluruh perayaan. Di atas altar tak boleh diletakkan patung atau lukisan orang kudus. Selama peribadatan dapat diletakkan tempat berisi relikwi asli martir atau orang kudus lainnya, tak harus di dalam meja, tetapi di bawahnya.

Seturut simbolisme biblis dan kebiasaan tradisional, meja altar sebaiknya dibuat dari batu alami. Namun demikian, untuk meja, seperti untuk bingkai-bingkai dan kaki yang menopang dapat juga dibuat dari bahan-bahan lain, dengan pemahaman yang jelas bahwa semuanya ini dimaksudkan khusus untuk liturgi, bukan untuk segala keperluan.[6]

Berikut ini adalah tambahan penjelasan dari PUMR:
296. Altar merupakan tempat untuk menghadirkan kurban salib dengan menggunakan tanda-tanda sakramental. Sekaligus altar merupakan meja perjamuan Tuhan, dan dalam Misa umat Allah dihimpun di sekeliling altar untuk mengambil bagian dalam perjamuan itu. Kecuali itu, altar merupakan juag pusat ucapan syukur yang diselenggarakan dalam perayaan Ekaristi.

297. Bila perayaan Ekaristi berlangsung di gereja atau di kapel, harus digunakan sebuah altar. Bila perayaan Ekaristi berlangsung di luar gereja atau kapel, dapat digunakan meja yang pantas. Tetapi meja itu hendaknya ditutup dengan kain altar dan dilengkapi dengan korporale, salib dan lilin.

298. Sangat diharapkan agar dalam setiap gereja ada satu altar permanen, karena altar ini secara jelas dan lestari menghadirkan Yesus Kristus, Sang Batu Hidup (1 Ptr 2:4, bdk. Ef 2:20). Tetapi di tempat-tempat lain yang dimanfaatkan untuk perayaan liturgis, cukup dipasang altar geser.
Suatu altar disebut altar permanen kalau dibangun melekat pada lantai, sehingga tak dapat dipindahkan; altar disebut altar geser kalau dapat dipindah- pindahkan.

299. Altar utama hendaknya dibangun terpisah dari dinding gereja, sehingga para pelayan dapat mengitarinya dengan mudah, dan imam sedapat mungkin memimpin perayaan Ekaristi dengan menghadap ke arah jemaat. Di samping itu, altar hendaknya dibangun pada tempat yang sungguh-sungguh menjadi pusat perhatian, sehingga perhatian seluruh umat beriman dengan sendirinya terarah ke sana. Seturut ketentuan altar utama harus berupa altar permanen dan didedikasikan.

300. Baik altar permanen ataupun altar geser didedikasikan menurut tata cara yang digariskan dalam buku Pontificale Romanum, tetapi altar geser dapat juga hanya diberkati.

301. Seturut tradisi Gereja, dan sesuai pula dengan makna simbolis altar, daun meja untuk altar permanen harus terbuat dari batu, bahkan batu alam. Tetapi Konferensi Uskup dapat menetapkan bahwa boleh juga digunakan bahan lain, asal sungguh bermutu, kuat dan indah. Sedangkan penyangga atau kaki altar dapat dibuat dari bahan apapun, asal kuat dan bermutu.
Altar geser dapat dibuat dari bahan apapun asal menurut pandangan masyarakat setempat bermutu, kuat, dan selaras untuk digunakan dalam liturgi.

302. Hendaknya dipertahankan tradisi Gereja untuk memasang relikui orang kudus, juga yang bukan martir, di dalam atau di bawah altar yang akan didedikasikan. Namun harus dijamin bahwa relikui itu asli.

303. Bila membangun gereja baru, lebih baik dibangun hanya satu altar sehingga dalam himpunan jemaat beriman altar tunggal itu sungguh menjadi tanda Kristus yang satu dan Ekaristi Gereja yang satu…

304. Untuk menghormati perayaan kenangan akan Tuhan serta perjamuan Tubuh dan Darah-Nya pantaslah altar ditutup dengan sehelai kain altar berwarna putih. Bentuk, ukuran dan hiasannya hendaknya cocok dengan altar itu.

Mimbar
Mimbar adalah tempat khusus untuk pewartaan Sabda Tuhan. Bentuknya hendaklah berhubungan dengan altar, tanpa melalaikan peran dan kepentingannya sendiri. Hendaknya dipikirkan bahwa letaknya lebih mendekati umat (juga tidak pada bagian pelataran imam seturut kesaksian tradisi liturgi) dan hendaknya memungkinkan pelaksanaan perarakan dengan kitab Injil dan pemakluman Sabda penyelamatan. Hendaknya sepadan menurut kelayakan dan peranannya yang suci, dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga para pelayan upacara yang menggunakannya dapat dilihat dan didengarkan dari segenap penjuru bangku umat.

Tidak cukup kalau mimbar dibuat hanya sebagai sebuah ‘standard’; mimbar harus anggun dan di ketinggian tertentu sehingga mampu menggaungkan Sabda dan menciptakan kewibawaan penyampaian Sabda; pun jika tak ada lektor yang sedang memaklumkannya. Di samping itu, mimbar dapat dilengkapi dengan tempat lilin; juga dalam perhitungan untuk penempatan lilin Paskah.

Berikut ini adalah tambahan ketentuan mimbar menurut PUMR:
309. … Sebaiknya tempat pewartaan sabda berupa mimbar (ambo) yang tetap, bukannya ‘standar’ yang dapat dipindah- pindahkan. Sesuai dengan bentuk dan ruang gereja masing-masing, hendaknya mimbar itu ditempatkan sedemikian rupa, sehingga pembaca dapat dilihat dan didengar dengan mudah oleh umat beriman.

Mimbar adalah tempat untuk membawakan bacaan-bacaan dan mazmur tanggapan serta Pujian Paskah. Juga homili dan doa umat dapat dibawakan di mimbar. Untuk menjaga keagungan mimbar, hendaknya hanya pelayan sabda yang melaksanakan tugas di sana….

Tempat duduk Pemimpin:
Tempat duduk mengungkapkan peran pemimpin yang membawakan perayaan pribadi Kristus, Kepala dan Gembala Gereja-Nya. Tempatnya hendaklah terlihat dengan baik oleh seluruh umat dengan perhitungan agar seluruh umat dengan mudah memusatkan perhatian kepada doa-doa yang dibawakan, dialog dan ajakan-ajakan, tempat duduk harus menandakan pemimpin, bukan hanya sebagai kepala tetapi juga sebagai bagian integral dari umat: untuk maksud itu hendaklah menjamin komunikasi langsung dengan umat, walaupun tetap berada pada pelataran imam.

Perlu diingatkan bahwa bentuknya bukanlah sebagai tahta uskup atau memberi kesan suatu singgasana. Tempat duduk pemimpin hendaknya tetap tampil “unik”; dapat sebagai bangku utama tanpa sandaran namun dengan penyangga tangan, seraya diperhitungkan dengan kasula imam dan keleluasaan bergerak. Selanjutnya dipersiapkan pula sekian banyak tempat duduk untuk para konselebran, diakon dan petugas-petugas lainnya. Jangan lupa merancang suatu tempat yang tampan untuk kredens.

Berikut ini adalah tambahan ketentuan mimbar menurut PUMR:
310. … Kursi imam selebran harus melambangkan kedudukannya sebagai pemimpin jemaat dan mengungkapkan tugasnya sebagai pemimpin doa. Oleh karena itu tempat yang paling sesuai untuk kursi imam selebran adalah berhadapan dengan umat dan berada di ujung panti imam, kecuali kalau tata bangun gereja atau suatu sebab lain tidak mengizinkannya; misalnya saja kalau dengan demikian jarak antara umat dan imam terlalu jauh, sehingga mempersulit komunikasi; atau kalau tabernakel dibangun di belakang altar persis di tengah garis belakang panti imam. Kursi imam selebran sama sekali tidak boleh menyerupai tahta.

Seyogyanya, sebelum digunakan untuk keperluan liturgi imam selebran diberkati menurut tata cara yang diuraikan dalam buku Rituale Romanum.
Demikian pula, di panti imam hendaknya dipasang kursi-kursi lain baik untuk para imam konselebran maupun imam-imam yang berhimpun untuk Ibadat Harian tetapi tidak ikut berkonselebrasi.
Kursi diakon hendaknya ditempatkan di dekat imam selebran. Tempat duduk para petugas lain hendaknya jelas berbeda dengan kursi klerus, dan diatur sedemikian rupa, sehingga semua dapat menjalankan tugasnya dengan mudah.

Tempat Pembaptisan dan sumber
Dalam perencanaan sebuah gereja paroki hendaknya tidak dilalaikan adanya tempat untuk Pembaptisan. Tempatnya dapat dipisahkan dari ruang umat atau dalam bentuk sumber sedehana (tempat air) yang ditempatkan di salah satu bagian dari ruang umat. Hendaknya ada hiasan dan memberi arti yang jelas; sehingga setiap orang langsung berkesan tentang Pembaptisan. Perhitungkanlah menurut persyaratan liturgis apabila Pembaptisan dirayakan di situ, baik untuk penenggelaman ataupun untuk pencurahan. Dapat diperhitungkan letak tempat Pembaptisan yang memungkinkan perarakan menuju altar seusai Pembaptisan.

Tempat dan ruang duduk Sakramen Tobat
Perayaan sakramen Tobat memerlukan ruangan khusus yang tak terpisah dari ruang umat. Hendaknya diperhitungkan demi dialog yang lancar antara bapa pengakuan dan peniten dan dapat dijamin sebagai tempat perjumpaan individual, tanpa diganggu oleh gaung suara. Dengan pertimbangan pastoral, masih dibutuhkan sekat dan tempat berlutut.

Tabernakel/ Persemayaman Ekaristi
Sakramen Mahakudus hendaknya disemayamkan di suatu tempat arsitektonis yang sungguh penting; biasanya terpisah dari ruang umat dan diperhitungkan untuk sembah sujud dan doa pribadi. Tabernakel adalah suatu yang khusus, sehingga perlu mendapatkan perhatian. Hendaknya tetap tak berpindah-pindah dan kuat melekat, tidak tembus cahaya dan tak dapat dilintasi orang. Jangan lupa menempatkan lampu abadi di sampingnya sebagai tanda kehadiran Tuhan yang tetap dan senantiasa.

Paus Benediktus XVI, dalam Ekshortasi Apostoliknya yang berjudul Sacramentum Caritatis menuliskan tentang ketentuan lokasi tabernakel, demikian:
69. …. Penempatan tabernakel yang benar akan memberikan kontribusi bagi pengenalan akan kehadiran Kristus yang nyata di dalam Sakramen Mahakudus. Karena itu, tempat di mana Ekaristi disimpan, yang ditandai oleh lampu tempat kudus, harus mudah terlihat dari siapapun yang memasuki gereja. Maka menjadi penting untuk diperhatikan dalam arsitektur bangunan: di gereja-gereja yang tidak mempunyai kapel Sakramen Mahakudus, dan di mana ada altar tinggi dengan tabernakelnya, adalah layak untuk terus menggunakan struktur ini untuk penyimpanan dan penyembahan Ekaristi, asalkan diperhatikan untuk tidak menempatkan kursi pemimpin di depannya. Di gereja-gereja baru, adalah baik untuk menempatkan kapel Sakramen Mahakudus dekat dengan panti imam. Ketika ini tidak memungkinkan, adalah dianjurkan untuk menempatkan tabernakel di panti imam, di tempat yang cukup ditinggikan, di bagian tengah/ pusat dari ujung cekungan pengakhiran gereja (at the center of the apse area) atau di tempat lain yang sama-sama mencolok/ mudah terlihat. Perhatian kepada pertimbangan-pertimbangan ini akan memberikan kontribusi martabat kepada tabernakel yang harus selalu diperhatikan, juga dari sudut pandang artistik. Jelaslah adalah penting untuk mengikuti ketentuan dari Pedoman Umum Misale Romawi tentang hal ini. Dalam setiap keadaan, keputusan akhir tentang hal-hal ini ditentukan oleh Uskup Diocesan.” (Sacramentum Caritatis, 69)

Berikut ini adalah ketentuan tentang Tabernakel menurut Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR):
314. Sesuai dengan tata bangun masing-masing gereja dan kebiasaan setempat, Sakramen Mahakudus hendaknya disimpan dalam tabernakel yang dibangun di salah satu bagian gereja. Tempat tabernakel itu hendaknya sungguh mencolok, indah dan cocok untuk berdoa.

Seturut ketentuan hendaknya ada satu tabernakel dalam gereja. Tabernakel hendaknya dibangun permanen, dibuat dari bahan yang kokoh, tidak mudah dibongkar, dan tidak tembus pandang. Tabernakel hendaknya dilengkapi dengan kunci yang aman, sehingga setiap bahaya pencemaran dapat dihindarkan. Seyogyanya sebelum dikhususkan untuk penggunaan liturgis, tabernakel diberkati seturut tata cara yang diuraikan dalam buku Rituale Romanum.

315. Sangatlah sesuai dengan makna simbolisnya, kalau tabernakel sesuai dengan makna simbolisnya, kalau tabernakel sebagai tempat menyimpan Sakramen Ekaristi tidak diletakkan di atas meja altar di mana dirayakan Ekaristi.

Oleh karena itu, sesuai dengan kebijakan uskup diocesan, tabernakel lebih baik ditempatkan:
a. kalau di panti imam, terpisah dari altar yang digunakan untuk merayakan Ekaristi, dalam bentuk dan tempat yang serasi, tidak terkecuali pada altar lama yang tidak digunakan untuk merayakan Ekaristi. [Catatan dari Katolisitas: ini terkait dengan bangunan gereja lama yang memiliki struktur meja altar dengan kesatuan dengan tabernakel untuk merayakan Extra Ordinary Mass/ Tridentine Mass]

b. di Kapel yang cocok untuk sembah sujud dan doa pribadi umat beriman, dari segi tata bangun, kapel ini hendaknya terhubung dengan gereja dan mudah dilihat oleh umat.
316. Selaras dengan tradisi, di dekat tabernakel harus dipasang lampu khusus yang menggunakan bahan bakar minyak atau lilin. Lampu ini bernyala terus menerus sebagai tanda dan ungkapan hormat akan kehadiran Kristus.

Tempat duduk umat
Hendaknya diperhitungkan agar posisi bangku mendukung partisipasi yang baik selama perayaan. DI samping memungkinkan perarakan Komuni; jaran antar bangku dan bentuk bangku tak menghalangi gerak-gerik simbolis selama perayaan serta konsentrasi dan penyesuaian diri ke dalam setiap bagian ritual.

Tempat koor dan organis
Koor adalah bagian dari umat dan harus di tempatkan di ruang umat. Namun demikian tempatnya hendaknya agak lebih tinggi sekaligus tidak membelakangi umat, sebab tugas mereka terutama menyemangati umat dalam menyanyi. Tempat organis pun diperhitungkan dengan kemudahan komunikasi baik dengan dirigen, umat maupun pemimpin perayaan.

Berikut ini ketentuan dari PUMR:
312. Paduan suara merupakan bagian utuh dari umat yang berhimpun, namun memiliki tugas yang khusus. Oleh karena itu, dengan memperhatikan tata ruang gereja, paduan suara hendaknya ditempatkan sedemikian rupa sehingga kedua ciri khas tersebut tampak dengan jelas. Juga agar paduan suara dapat menjalankan tugasnya dengan mudah, dan memungkinkan setiap anggota berpartisipasi secara penuh dalam Misa yaitu berpartisipasi secara sakramental.

313. Organ dan alat-alat musik lain yang boleh digunakan dalam liturgi, hendaknya diatur pada tempat yang cocok, sehingga dapat menopang nyanyian baik paduan suara maupun umat, dan kalau dimainkan sendiri dapat didengar dengan baik oleh seluruh umat….

Rancangan lukisan
Hendaknya lukisan dan kesenian merupakan pengembangan lebih lanjut dari misteri yang dirayakan dalam kaitannya dengan sejarah keselamatan dan umat beriman. Hendaknya sudah dirancang sejak awal proyek pembangunan. Dapat disesuaikan dengan budaya lokal dalam kerjasama dengan seniman, tukang dan penata ruang. Juga Salib, gambar Bunda Maria, pelindung paroki, Jalan Salib, harus diciptakan sebagai hasil karya seni yang bermutu dan mampu mengangkat hati kepada Yang Ilahi.

Kapel untuk Misa harian
Apabila gereja sangat luas maka untuk misa harian dapat dipakai bagian kecil dari ruang umat untuk perayaan liturgi dengan kelompok kecil. Dapat dipakai ruang samping yang berhadapan langsung dengan tabernakel.

Peralatan dan bahan-bahan
Bukannya yang dimaksudkan di sini sekedar sebagai perhiasan luaran yang memenuhi syarat untuk dapat dipakai tetapi merupakan alat-alat yang sepenuhnya berfungsi yang harus dirancang dengan teliti supaya selaras dengan keseluruhan bangunan. Bahan yang dipilih hendaknya sederhana, tetapi bermutu, bukannya mewah tetapi mengarah kepada kebenaran maksud penggunaan dan sekaligus berdaya bagi pendidikan umat beriman serta menciptakan suasana sebagai tempat yang suci.

Gagasan dasar untuk penggunaan alat dan bahan ialah keaslian bentuk, materi dan tujuan bahan dan perkakas. Khususnya yang menjadi soal ialah pemilihan dan penggunaan bahan-bahan natural seperti misalnya: bunga-bunga, tumbuhan, lilin dan kayu. Kalau tentang hiasan kembang dapatlah misalnya merancang satu atau beberapa rangkaian pada pelataran imam, bukan hanya demi peraturan, tetapi juga demi kepentingan liturgi menurut Masa, tingkatan perayaan, prioritas tempat dan keseimbangan tata ruang. Kriteria pertama ialah kebenaran liturgis, sederhana tak berlebihan namun estetis dalam penyesuaian dengan keseluruhan tata ruang dan mutu kreasi artistiknya dengan bahan modern atau tradisional. Dalam penggunaan bahan-bahan/ peralatan antik, hendaknya sangat menghormati identitas budaya, sejarah, dan seni seraya menghindari kesewenangan dan pengubahan yang tidak sepadan.

Berikut ini adalah ketentuan tentang patung kudus dan perabot-perabot lain, dalam PUMR:
318. Dalam liturgi yang dirayakan di dunia, Gereja mencicipi liturgi surgawi yang dirayakan di kota suci Yerusalem. Gereja ibarat peziarah yang berjalan menuju Yerusalem baru, tempat Kristus duduk di sisi kanan Allah. Dengan menghormati para kudus, Gereja juga berharap agar diperkenankan menikmati persekutuan dengan mereka, dan ikut merasakan kebahagiaan mereka.

Maka sesuai dengan tradisi Gereja yang sudah sangat tua, ruang ibadat dilengkapi juga dengan patung Tuhan Yesus, Santa Perawan Maria, dan para kudus, agar dapat dihormati oleh umat beriman. Di dalam gereja, patung-patung itu hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga dapat membantu umat beriman menghayati misteri-misteri iman yang dirayakan di sana, Maka harus diupayakan jangan sampai jumlahnya berlebihan dan patung-patung itu hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga tidak membelokkan perhatian umat dari perayaan liturgi sendiri. Pada umumnya, pemanfaatan patung dalam tata ruang dan tata hias gereja, hendaknya sungguh mempertimbangkan keindahan dan keagungan patung itu sendiri serta manfaatnya untuk kesalehan seluruh umat.

348. Perabot-perabot lain yang digunakan dalam liturgi atau dipakai dalam gedung gereja hendaknya selalu pantas dan sesuai dengan tujuannya masing-masing….

Pengaturan tempat-tempat khusus yang menyatu pada badan gereja

Sakristi
Ruang sakristi hendaknya indah, rapi, bukan semacam gudang dengan tumpukan barang. Hendaknya cukup luas, bukan hanya untuk menerima kehadiran para petugas liturgi tetapi karena juga menjadi tempat penyimpanan buku-buku upacara, pakaian dan berbagai peralatan suci. Dapat dikembangkan juga dengan ruangan untuk P3K, untuk para penghias gereja bekerja; untuk pertemuan imam dengan umat secara informal. Sedapat mungkin terdiri dari dua pintu: menuju pelataran imam dan yang menuju ke umat, di samping pintu untuk urusan lain. Dapat diperhitungkan pula jalan yang memadai menuju pintu gerbang depan untuk introitus dengan perarakan meriah.

Tambahan keterangan dari PUMR:
334. Kebiasaan membangun sakrarium (sumur suci) di sakristi hendaknya dipertahankan. Ke dalam sakrarium inilah dituang air bekas pencuci bejana kudus dan kain-kain (bdk. PUMR 280).

Pelataran masuk dan Pintu utama
Ini sangat penting untuk menerima kedatangan umat, tetapi sekaligus sebagai persiapan dekat bagi umat untuk beralih dari dunia ramai menuju ke tempat yang suci. Hendaknya bentuk bangunan cukup terbuka, sekaligus menjadi tempat memasang pengumuman-pengumuman parokial.
Pintu masuk utama harus menjadi simbol Kristus, “pintu” untuk domba-domba-Nya (Yoh 10:7). Dapat dihiasi dengan ikonografi yang sesuai. Perhitungkanlah sedemikian rupa agar umat tidak berdesakan waktu hendak masuk atau keluar dari gereja.

Menara dan lonceng
Menara jangan dibuat tanpa rencana dan jangan sekedar untuk menyangga lonceng. Tinggi dan indahnya menara sangat mendukung arti keluhuran gereja di tengah kota dan masyarakat. Dimensi dan strukturnya angan sampai terlalu menyita biaya. Lonceng gereja sangat dianjurkan bentuk yang tradisional dan variasi bunyi yang menghantar orang kepada kekhusukan. Janganlah sekedar memakai kaset rekaman.

Bangunan untuk pelayanan pastoral dan rumah paroki
Hendaknya bentuk dan letaknya mendukung kelayakan. Jangan sampai lebih mewah dan lebih megah dari gereja paroki; namun demikian diri khasnya perlu diperhatikan sebagai: rumah kediaman, tempat menerima tamu dan umat untuk misi pastoral kegerejaan; untuk berbagai kegiatan rapat seksi-seksi paroki; sekaligus aula liturgi untuk latihan koor.

[Ditulis oleh Rm. Bosco da Cunha O.Carm, Komisi Liturgi KWI, dengan mengambil sumber dari Notitiae 322, Maio 1993-5, citta del Vaticano, p. 290-303. Dengan persetujuan Rm. Bosco, Katolisitas menambahkan beberapa sumber untuk topik yang terkait, untuk melengkapi penjelasan dari Rm Bosco.]

Catatan kaki:
  1. Bdk. Sacrosanctum Concilium,  6.10; Lumen Gentium 4.9; Gaudium et Spes  40.43
  2. Bdk. Sacrosanctum Concilium,  7.14; Dei Verbum 21
  3. Sacrosanctum Concilium,  11
  4. Bdk. Lumen Gentium, 10
  5. Pedoman Buku Misa 257
  6. Bdk. Pedoman Buku Misa 263 
[Sumber: http://www.katolisitas.org/perencanaan-bangunan-gereja-baru/. Diakses: Minggu, 11 September 2016].