Rabu, 08 Desember 2010

Sarasehan Keberadaan "Pemaksan"


Kultur dan tata hidup masyarakat Bali, bagaimana pun, mempunyai peranan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan Gereja Katolik di Bali, khususnya Gereja yang tumbuh dan berkembang di daerah pedesaan, seperti Tangeb, Tuka, Babakan, Kulibul, Palasari, Gumbrih, Piling dan Penganggahan. Salah satu "lembaga" dalam struktur masyarakat Bali adalah "pemaksan". Istilah ini merujuk pada kesatuan anggota masyarakat yang mengemong bangunan suci tertentu yang sama. Mengemong berarti bertanggung jawab terhadap berbagai hal terkait dengan keberadaan bangunan suci tersebut dan juga upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan. Oleh karena itu, agar tanggung jawab bisa dilaksanakan dengan baik dan berkeadilan, maka ada aturan-aturan (awig-awig) yang kemudian disepakati menyangkut hak-hak, kewajiban termasuk juga sanksi.

Lembaga "pemaksan" ini kemudian diadopsi oleh umat Katolik di Bali yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah pedesaan. Tentu denganpenyesuaian-penyesuaian sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai kekatolikan. Namun demikian jujur harus diakui, bagaimana formulasi paling tepat penerapan "pemaksan" di lingkungan Gereja Katolik di Bali, khususnya yang ada di daerah pedesaan, memang belum ada kata sepakat untuk itu. Sempalan-sempalan pemikiran dan pemahaman masih merupakan mozaik yang mesti ditata sehingga benar-benar mampu memberikan kontribusi bagi pewartaan karya keselamatan Tuhan di tengah-tengah umat Katolik di Bali serta tetap akomodatif terhadap perkembangan.

Rm. Widastra menyampaikan makalahnya. Duduk (ki-ka): Gede Sutmasa, P. Kt. Dongker
dan Wayan Haryono

Untuk itulah, dalam rangka memperingati Jubileum Emas Gereja Katolik Santo Paulus Kulibul, pada hari Minggu, 29 Juli 2010 diselenggarakan "Sarasehan Keberadaan Pemaksan dalam Paroki". Hadir sebagai nara sumber pada sarasehan yang digelar di aula Pastoran Paroki Santo Paulus Kulibul adalah Romo Paskalis Nyoman Widastra, SVD, Bapak Paulus Ketut Dongker dan Bapak Wayan Haryono.

Pada sarasehan yang dipandu oleh Gede Sutmasa tersebut, Romo Widastra mengemukakan bahwa keberadaan "pemaksan" sebagaimana yang dipahami memang tidak ada dasar eksplisit jika mengacu pada struktur hierarkhi Gereja Katolik. Namun demikian secara implisit Gereja Katolik sebenarnya sangat menghargai nilai-nilai dan budaya setempat yang harus tetap dihargai dan diakomodasi dalam rangka pewartaan karya keselamatan Tuhan sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Keberadaan "pemaksan" dan bagaimana formulasi praktiknya, memang harus dipikirkan dengan lebih seksama. Kita mau apa dengan keberadaan "pemaksan" itu. Apakah dia kemudian bernilai bagi kebutuhan dan perkembangan Gereja Katolik atau malah sebaliknya? "Ini memerlukan pemikiran dan kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh," ungkap imam putra Bali yang menekuni budaya Bali tersebut.

Sementara itu Bapak Paulus Ketut Dongker dan Bapak Wayan Haryono masing-masing mengemukakan pengalaman mereka tentang keberadaan dan aktivitas pemaksan di paroki Tri Tunggal Tuka dan Paroki Roh Kudus Babakan. Sejauh ini, menurut mereka tidak ada masalah, bahkan memang sangat membantu terselenggaranya dengan sangat baik berbagai aktivitas paroki. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, komentar Anda akan sangat berguna bagi kami.